MAKNA KETAMAKAN BERDASARKAN LUKAS 12:13-21 DAN IMPLIKASINYA BAGI KEHIDUPAN ORANG PERCAYA MASA KINI
MAKNA KETAMAKAN BERDASARKAN LUKAS 12:13-21 DAN
IMPLIKASINYA BAGI KEHIDUPAN ORANG PERCAYA MASA KINI
BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang Masalah
Alkitab Terjemahan Baru
hanya satu kali menulis tentang kata “ketamakan” dan kata ini hanya terdapat
dalam Lukas 12:15. Selain kata ini yang ada dalam Injil Lukas, perikop ini
tentang “orang kaya yang bodoh” juga tidak memiliki referensi silang dalam
Injil sinoptik yang lain (Luk. 12:13-21). Ada yang beranggapan bahwa “ketamakan
itu baik.”[1]
Anggapan orang yang demikian akan memengaruhi seseorang dalam bertindak dengan
keliru. Penafsir yang lain juga menjelaskan, “Ketamakan atau keinginan untuk
mendapat lebih dari yang sudah orang punyai (tidak hanya karena iri hati atas
orang lain), bukan hanya menimbulkan pertikaian, tapi juga mengungkapkan suatu
filsafat hidup yang salah secara asasi, yang mana hanya harta kepunyaan saja
yang dianggap penting.”[2]
Bukan soal materi saja, tetapi ada yang menjelaskan bahwa ketamakan juga
berkaitan dengan “Keinginan untuk dipuji oleh umum sebagai orang baik.”[3]
Fakta dalam Perjanjian Baru menunjukkan bahwa keinginan yang berlebihan
terhadap harta benda akan memengaruhi seseorang untuk bertindak dengan ceroboh.
Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan Yudas Iskariot, karena tiga puluh uang
perak, maka ia menjual Yesus (Mat. 26:15). Yohanes sendiri menuliskan bahwa ia
adalah seorang pencuri yang sering mengambil uang kas yang dipegangnya (Yoh.
12:6). Jadi, Yudas Iskariot lebih mencintai uang dari pada mengasihi Yesus.
Demikian pula dalam Perjanjian Lama, yaitu mengenai kasus Gehazi yang adalah
hamba Elisa. Naaman mau memberi upah kepada Elisa atas kesembuhannya, tetapi
Elisa menolak untuk menerima pemberian Naaman. Namun, Gehazi dengan diam-diam
menerima pemberian Naaman tanpa sepengetahuan dari Elisa. Akibat perbuatannya, ia dihukum Tuhan (lih. 2 Raj. 5:19-27). Kisah
ini menunjukkan bahwa ia lebih menginginkan harta benda secara berlebihan.
Melihat fakta Alkitab
tentang permasalahan yang terjadi, penulis juga menyadari bahwa permasalahan
soal cinta kekayaan juga masih terjadi di zaman ini. Seorang filsuf yang bernama Karl Marx yang dikenal dengan
filsafat materialisme yang menyatakan, “Materi merupakan sesuatu yang harus
dicari oleh manusia, materi mampu menghidupkan, mengembangkan, dan
membahagiakan manusia, karena itu manusia harus mengejar materi dengan cara
bekerja, berkarier, menciptakan atau melahirkan sistem produksi ekonomi untuk
mewujudkan ekonomi yang berbasis pada ajaran komunis.”[4] Inti paham ini menjelaskan bahwa materi
adalah hal yang terutama dalam kehidupan manusia. Ada yang menjelaskan,
Orang-orang yang
menganut pandangan penyangkalan diri percaya bahwa bukti dari spiritualitas
yang otentik adalah menjauhkan diri dari kekayaan materi. Pandangan ini lupa
bila hati masih bisa dipenuhi dengan ketamakan dan keirihatian sekalipun
menjauhkan diri dari kekayaan materi. Pandangan konsumerisme memandang hidup
dengan lensa individualistis: ‘hidup saya adalah milik saya, demikian juga
dengan apa yang saya miliki.’ Materialisme menjadi berhala, dan itu membuat
orang berpikir bahwa berapa banyak yang mereka miliki adalah bukti betapa
rohaninya mereka – bahwa iman mereka setara dengan kekayaan materi mereka.[5]
Pemahaman yang demikian sangat memengaruhi orang-orang Kristen pada zaman
ini juga. Ada salah seorang pelopor pertumbuhan gereja yang
pernah mengemukakan, “Rahasia pertumbuhan gereja bergantung pada Money, Management, Mission, and Man.”[6]
Hal ini berpengaruh dalam pelayanannya, sehingga suatu ketika ia sendiri
mengalami masalah keuangan yang mengakibatkan ia dipenjara selama beberapa
tahun. Berikut ini adalah kasusnya yang tertulis dalam sebuah majalah online
yakni sebagai berikut:
Seorang pastor sebuah gereja dengan jemaat Pantekosta
terbesar di dunia, dinyatakan bersalah oleh pengadilan Korea Selatan karena
melakukan pelanggaran kepercayaan dan korupsi dari 130 miliar won (US $ 21
juta). Pendeta senior tersebut menerima hukuman percobaan dari hukuman penjara
tiga tahun dengan masa percobaan lima tahun dan diwajibkan membayar denda
sebesar 50 miliar won (US $ 4,7 juta) oleh Seoul Central Court pada 20 Februari
2014.[7]
Di sisi yang lain, Herlianto dalam bukunya yang berjudul Teologi Sukses: Antara Allah dan Mamon
menuliskan tentang seseorang yang dinilai makin materialis dan melakukan
pemerasan rohani (blackmail) setelah dalam siaran TV-nya di awal tahun 1987
dengan mengaku akan dipanggil Tuhan apabila tidak terkumpul dana sebanyak 8
juta dolar untuk misi, bahkan kemudian minta uang untuk rumah pribadi.[8]
Hal ini telah menunjukkan bahwa fokus utama pelayanannya ialah untuk mencari
keuntungan secara materi, dan bukan benar-benar melayani Tuhan.
Masalah tentang ketamakan yang terjadi dalam zaman Yesus pun masih terjadi
dalam zaman ini, bahkan sangat memengaruhi orang-orang percaya. Oleh karena
itu, gereja perlu melihat secara serius bahwa masalah ketamakan sudah ada sejak
semula, seperti yang terjadi, baik dalam Perjanjian Lama maupun zaman Yesus,
dan masih terjadi sampai zaman ini. Berdasarkan latar belakang masalah ini,
maka penulis tertarik untuk membahas mengenai: MAKNA KETAMAKAN BERDASARKAN LUKAS 12:13-21 DAN IMPLIKASINYA BAGI
KEHIDUPAN ORANG PERCAYA MASA KINI.
Pokok Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas, maka penulis
merumuskan masalah dalam bentuk pertanyaan. Adapun pertanyaan yang dimaksud
oleh penulis ialah sebagai berikut:
Pertama, apa makna ketamakan berdasarkan Lukas 12:13-21?
Kedua, apa implikasi makna ketamakan berdasarkan Lukas 12:13-21?
Pertanyaan-pertanyaan di atas akan menjadi acuan penulis untuk menulis
tentang makna ketamakan berdasarkan Lukas 12:13-21 sehingga mempermudah untuk
setiap pokok yang akan diuraikan.
Tujuan Penulisan
Berkenaan dengan pokok masalah di atas, maka penulis merumuskan maksud dan
tujuan dalam penulisan karya ilmiah ini yaitu sebagai berikut:
Pertama, untuk menjelaskan makna ketamakan berdasarkan Lukas 12:13-21.
Kedua, untuk menjelaskan implikasi makna ketamakan berdasarkan Lukas
12:13-21.
Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan karya ilmiah ini yang akan berguna bagi pembaca
yaitu sebagai berikut:
Pertama, agar setiap hamba Tuhan memahami konsep yang benar tentang makna
ketamakan dan tetap waspada terhadap bahaya dan dampak dari ketamakan.
Kedua, agar umat Tuhan dapat memahami dan waspada terhadap bahaya dan
dampak dari ketamakan.
Ketiga, untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis, agar penulis
memiliki pemahaman yang benar tentang makna ketamakan dan tetap waspada
terhadap bahaya dan dampak dari ketamakan.
Keempat, untuk memenuhi sebagian persyaratan akademika dalam mencapai gelar
sarjana teologi di STT Jaffray Makassar.
Metodelogi Penelitian
Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis menggunakan metode penelitian
kualitatif dengan menggunakan prinsip Hermeneutik Alkitab. Menurut Hasan
Sutanto, “Hermeneutik merupakan disiplin yang memikirkan konsep-konsep,
prinsip-prinsip dan hukum-hukum yang dipakai secara universal untuk memahami dan
menafsir Alkitab.”[9] Osborne menjelaskan, “Tujuan dari hermeneutika Injili
sebenarnya sederhana – untuk menemukan maksud dari penulis (penulis sama dengan
manusia yang diinspirasikan; penulis sama dengan penulis ilahi yang menginspirasikan
teks itu).”[10] Jadi, hal ini bertujuan untuk mencari
pengertian atau makna kata, teks atau bagian-bagian dalam Alkitab yang sesuai
dengan maksud penulis, baik asli maupun ilahi.
Berdasarkan prinsip hermeneutik Alkitab, penulis akan menggunakan metode
eksegesis yang disusun secara deskriptif. Menurut Gordon D. Fee dan Douglas
Stuart, “Eksegesis adalah hal mempelajari Alkitab secara sistematis dan teliti
untuk menemukan arti asli yang dimaksudkan.”[11] Sesuai dengan penjelasan ini, maka penulis
akan melakukan analisis konteks, genre, struktur, teks. Kemudian penulis
mendeskripsikan hasil dari proses eksegesis tersebut.
Batasan Penulisan
Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis tidak berusaha membahas tentang
“makna ketamakan” secara menyeluruh dalam Alkitab, tetapi penulis membatasi
pembahasan karya ilmiah ini berdasarkan konteks Lukas 12:13-21 dan bagaimana
implikasinya bagi kehidupan orang percaya di masa kini.
Sistematika Penulisan
Demi keteraturan karya ilmiah ini dan untuk mempermudah pemahaman bagi
pembaca, maka penulis menyusun komposisi penulisan karya ilmiah ini sebagai
berikut:
Bab I, adalah bab pendahuluan yang melingkupi pembahasan mengenai latar
belakang masalah, pokok masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan,
metodelogi penelitian, batasan penulisan dan sistematika penulisan.
Bab II, adalah latar belakang Injil Lukas yang melingkupi pembahasan
mengenai penulis kitab Injil Lukas, waktu penulisan kitab,
penerima kitab, tujuan penulisan kitab, keunikan kitab Injil Lukas, dan struktur
kitab Injil Lukas.
Bab III, adalah eksposisi Lukas 12:13-21 yang membahas mengenai genre
nas Lukas 12:13-21, latar belakang konteks, makna leksikal ketamakan, struktur Lukas 12:13-21, metode
pendekatan penafsiran, analisis teks Lukas 12:13-21.
Bab IV, menguraikan tentang implikasi makna ketamakan berdasarkan Lukas
12:13-21 bagi kehidupan orang percaya masa kini, yang membahas mengenai wujud
dari ketamakan, dampak dari ketamakan, dan berjaga-jaga dan waspada terhadap
ketamakan.
Bab V, merupakan bab penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran.
BAB II
LATAR BELAKANG INJIL LUKAS
Penulis Kitab Injil Lukas
Penulis
Injil Lukas sendiri tidak menyebutkan namanya dan identitasnya secara jelas.
Akan tetapi, banyak referensi yang mendukung dan kesaksian Alkitab yang
menunjukkan bahwa Lukas merupakan penulisnya. Dalam Injil Lukas dan Kisah Para
Rasul, penulisnya mengalamatkan kedua kitab ini kepada orang yang sama, yaitu
Teofilus (lih. Luk. 1:1; Kis. 1:1). Pandangan para ahli pada umumnya sepakat
bahwa pengarang yang sama telah menulis Injil Lukas dan Kisah Para Rasul.[12]
Pendapat lain menjelaskan, “Ciri khas kitab Injil Lukas merupakan jilid pertama
dari dua jilid sejarah mengenai kekristenan mula-mula yang dilanjutkan dalam
Kisah Para Rasul. Gaya dan jenis bahasa kedua kitab itu begitu mirip sehingga
tidak ada keraguan bahwa keduanya merupakan hasil karya satu orang penulis.”[13]
Tenney
menjelaskan tentang identitas penulisnya,
Penulis
Lukas-Kisah Para Rasul boleh jadi adalah seorang asing dari Antiokhia yang
menjadi orang Kristen selambat-lambatnya lima belas tahun setelah Pentakosta.
Ia menjadi teman dan rekan sekerja Paulus dan menyertainya dalam perjalanannya
yang kedua setelah keduanya bertemu di Troas (Kis. 16:10). Ia tinggal di Filipi
sebagai gembala sidang sedang Paulus melanjutkan pelayanan kelilingnya di
Akhaya dan di Asia kecil (Kis. 19:1-41) setelah mengunjungi Antiokhia. Ketika
Paulus kembali ke Filipi pada perjalanannya yang ketiga, penulis menyertainya
lagi (Kis. 20:6). Ia
pergi bersamanya ke daratan Asia, dan dari sana menemaninya ke Yerusalem.[14]
Pendapat
lain menjelaskan bahwa menurut tradisi, penulisnya adalah Lukas yang berasal
dari Antiokhia di Siria,[15]
dan ia bukan orang Yahudi (bnd. Kol. 4:10-11). Alasan lain karena Lukas adalah rekan sepelayanan Paulus, bahkan ia adalah kawan akrabnya,
seperti yang digambarkan dalam kitab Kisah Para Rasul tentang penggunaan kata
“kami” (Kis. 16:10; 20:6; 27:1; 28:16), yang menyatakan, “Pada waktu-waktu
tertentu, ia sendiri hadir pada peristiwa yang dilukiskannya.”[16]
Kehadirannya dijelaskan oleh B. J. Boland, “Perjalanan Paulus yang kedua untuk
mengabarkan Injil, mulai dari Troas sampai ke Filipi (Kis. 16:10-17), dan waktu
perjalanan pulang sesudah perjalanan ketiga mengabarkan Injil, Lukas ikut serta
dari Filipi ke Yerusalem (Kis. 20:5-21:18), serta ia dipenjara di Kaisarea dan
dibawa ke Roma (Kis. 27:1-28:16).”[17]
Selain itu, Tenney juga menjelaskan tentang bukti internalnya
yaitu:
Penulis memiliki kemampuan menulis yang
tinggi dan mungkin juga memiliki pendidikan yang tinggi. Ia adalah seorang
pengamat yang cermat, karena kedua puluh tujuh pasal dalam Kisah Para Rasul
menyajikan catatan pelayaran yang paling lengkap. Suatu perbandingan dari
Markus 5:25-26 dengan Lukas 8:43 menunjukkan bahwa ia berbicara seperti seorang
tabib, yang menguatkan gelarnya sebagai “tabib Lukas yang kekasih” (Kol. 4:14).[18]
Para
teolog juga menyatakan bahwa Lukas adalah seorang sejarahwan, seperti dalam
sebuah tulisan bahwa “Bagi Lukas riwayat ini adalah sejarah, dan ia adalah
sejarahwan yang sadar akan tugasnya, jauh melebihi penulis-penulis Injil
lainnya.”[19]
Walaupun demikian, perlu diketahui juga bahwa “Ia bukan menulis sejarah Yesus
dari Nazaret dan melanjutkannya dengan skema sejarah gereja mula-mula; ia
menulis tentang apa yang telah dikerjakan Allah dalam diri Yesus dan apa yang
dikerjakan Allah dalam gereja mula-mula. Perhatian utamanya adalah pada teologi, bukan sejarah.”[20] Jadi, Lukas bukan hanya seorang pernulis sebuah sejarah,
akan tetapi ia berfokus pada teologi, di mana maksud penulis Injil-injil ialah
memberitakan perkataan dan perbuatan Yesus sebagai kesaksian bahwa di dalam Dia
Kerajaan Allah telah datang; dengan kedatangan Yesus itu digenapilah
nubuat-nubuat Perjanjian Lama tentang Raja abadi, Mesias yang dijanjikan (bnd.
Mat. 1:1; Mrk. 1:1).[21]
Hal ini dapat dipahami bahwa ia menulis bukan dengan pikirannya sendiri, tetapi
ia diilham Roh Kudus untuk menulis kitab Injil ketiga.
Selain
dari Alkitab, John Drane dalam bukunya menuliskan bahwa dalam kanon Muratoria
dan Prakata anti-Marcion pada Injil Lukas, serta Ireneus, Clemens dari
Aleksandria, Origenes, dan Tertullianus, semuanya menyebut bahwa Lukas adalah
penulis Injil ketiga.[22]
Jadi, kesaksian orang-orang ini menunjukkan bahwa berita tentang kepenulisan
Injil Lukas beredar dari mula-mula, yang disampaikan, baik secara lisan maupun
tulisan kepada generasi-generasi selanjutnya, sehingga mereka menyatakan bahwa
Lukaslah penulisnya.
Waktu Penulisan Kitab
Waktu
penulisan kitab ini sulit untuk ditentukan karena Lukas sendiri bukan saksi
mata dan bukan murid Yesus secara langsung.
Pandangan yang pertama, melihat bahwa Injil Lukas ditulis lebih awal dari
Kisah Para Rasul (bnd. Kis. 1:1-3), maka waktu penulisan Injil Lukas juga perlu
memperhatikan waktu penulisan buku yang kedua ini. Tenney menjelaskan bahwa
mungkin tahun 60 dapat dijadikan sebagai patokan, karena pada saat itu Lukas
menjadi orang Kristen selama kurang lebih sepuluh tahun atau lebih, dan karena
ia mungkin sudah menjelajahi Palestina serta ia sudah bertemu dengan
saksi-saksi mata tentang Yesus.[23]
Pendapat ini mendukung bahwa pada musim panas mungkin Paulus sudah ditahan
selama dua tahun di Kaisarea (lih. Kis. 24:27) hingga tahun 57 M, sehingga pada
saat kedatangan Festus di Yerusalem, dan sidang Paulus diselenggarakan (lih.
Kis. 25:1-6a); kemudian Paulus disidang
lagi di Kaisarea (lih. Kis. 25:6b-12), lalu ia berangkat dan tiba di Roma pada
tahun 58 M.[24]
Pandangan ini mengakui dan menguatkan pernyataan Lukas bahwa ia mendapat banyak
informasi dari saksi-saksi mata utama, serta Lukas pernah melakukan perjalanan
pelayanan bersama Paulus.
Pandangan lain menjelaskan bahwa Injil Lukas ditulis
sesudah tahun 70 M karena “Ia (Lukas) menyertai Paulus dalam pelayaran ke Roma
dan terus tinggal bersamanya (Kis. 27:1-28:16).”[25] Namun,
kenyataannya Lukas tidak mencatat kematian Rasul Paulus di Roma (64-67 M) dalam
Injil ketiga ini. Dan hal lain ialah ia tidak mengisahkan tentang kehancuran
Yerusalem (70 M) karena ia hanya menulis tentang nubuatan kehancuran Yerusalem
(Luk. 19:43-44; 21:5-24).
Melihat bahwa Lukas tidak menulis tentang kehancuran
Yerusalem, tentu ada kemungkinan bahwa Injil Lukas ditulis kira-kira tahun 60
M.[26]
Penanggalan ini tidak dapat dilepaskan dari Kisah Para Rasul karena kedua kitab
ini saling berkaitan. Kisah Para Rasul ditulis sekitar tahun 63 M,[27]
yaitu pada akhir masa penahanan Paulus selama dua tahun di Roma (Kis. 28:30).
Oleh karena itu, hal ini memberikan
suatu indikasi bahwa kemungkinan
besar Injil Lukas ditulis antara tahun 57-60 M, yaitu dimulai pada akhir
penahanan Paulus di Kaisarea.
Sedangkan
tempat penulisan kitab ini tidak dapat diketahui secara pasti. Namun, ada juga
yang berpendapat bahwa Injil ini disusun di Asia Kecil dan Aleksandria, tetapi
itu hanyalah perkiraan saja.[28]
Tetapi, dilihat dari segi perjalanan Paulus bersama Lukas, ia memiliki kesempatan
untuk mencari dan mengumpulkan data-data, baik dari ucapan-ucapan lisan, dari
saksi-saksi mata maupun tulisan Markus tentang kehidupan dan pelayanan Yesus
(bnd. Luk. 1:1-2; 8:1-3; Kis. 21:33 – 27:1) sehingga ada kemungkinan bahwa
Lukas menulis sebagian di Kaisarea dan sebagiannya diselesaikan di Roma.
Penerima Kitab
Injil Lukas
1:1 dengan jelas menyatakan bahwa penerimanya ialah Teofilus. Boland
menjelaskan bahwa isinya hanya diperuntukkan bagi Teofilus dan bukan untuk
kalangan yang lebih luas! Pengalamatan semacam itu kepada seorang terkemuka
adalah sangat lazim dalam zaman dahulukala.[29] Hal ini sepadan dengan “Maksud nama itu ialah orang
Kristen, pembaca surat itu, dan yang lain menganggap bahwa nama itu
menyembunyikan seorang tokoh besar.”[30] Frasa “yang mulia” dalam Lukas 1:1 menunjukkan bahwa ia
adalah seorang yang berkedudukan tinggi. Tenney menjelaskan bahwa Teofilus
adalah seorang pria dari kalangan atas yang telah dibaptis, yang secara harfiah
berarti “kekasih Tuhan atau dikasihi Tuhan.” Julukan “yang mulia” (Yunani kratiste lih. Kis. 23:26; 24:3; 26:25),
biasanya hanya dikenakan pada pejabat pemerintahan atau kaum bangsawan.[31]
Namun, maksud Lukas bukan hanya kepada Teofilus, tetapi
kepada semua orang percaya, seperti yang dijelaskan oleh Duyverman bahwa
Teofilus adalah seorang bukan Yahudi yang terkemuka di antara kaumnya, tetapi
sasaran Lukas ialah untuk semua orang bukan Yahudi karena alasan dalam Kisah
Para Rasul 1:8.[32]
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Lukas mengalamatkan kedua kitabnya
kepada seseorang yang berkedudukan tinggi dan yang bernama Teofilus, di mana ia
adalah seorang yang telah menjadi Kristen (bnd. frasa “yang mulia” dan “yang
disampaikan kepada kita” dalam Luk. 1:1-2), dan juga kepada semua orang percaya
bukan Yahudi pada zamannya.
Tujuan Penulisan Kitab
Lukas memiliki tujuan dalam penulisan Injil Lukas.
Tujuannya dapat dilihat dalam beberapa ayat Injil Lukas, yaitu sebagai berikut:[33]
1.
Tujuan penulisan dijabarkan dalam Lukas
1:1-4:
a. Bahwa
ajaran Yesus sungguh benar.
b. Prinsip
penulisan sejarah secara teratur, bahwa Injil Yesus mempunyai suatu kekokohan
bila dilandasi fakta sejarah, walaupun Injil Lukas bukan historis secara
teknis.
2.
Lukas ingin menunjukkan kesinambungan
antara Yesus dengan Perjanjian Lama, tetapi
penekanan bila Yesus datang, maka agama Yahudi sudah tidak berlaku lagi, karena
Yesus datang untuk menjadi terang bagi bangsa-bangsa lain (Luk. 2:32).
3.
Peranan Roh Kudus sudah tampak (Luk.
1:35; 3:22; 4:1, 14; 24:4), di mana para pembaca diarahkan untuk mengaitkan peristiwa
Yesus dengan kehidupan mereka.
4.
Penekanan Injil sebagai kabar baik bagi
bangsa-bangsa dan semua strata:
a. Kelahiran
Yesus.
b. Silsilah
dari Adam (Luk. 3:28-38).
c. Perhatian
Yesus terhadap Samaria (Luk. 4:16-30).
d. Perumpamaan-perumpamaan
yang non-Yahudi.
e. Sahabat
bagi masyarakat biasa (Luk. 9:51-56; 10:5, 25-37; 17:11-19).
Keunikan Kitab Injil Lukas
Injil Lukas
memiliki keunikan tersendiri dari Injil sinoptik yang lain. Dalam Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan,
memberikan delapan penekanan yang utama menandai Injil Lukas, yaitu:[34]
1.
Injil
ini adalah yang terlengkap catatannya mengenai peristiwa di dalam kehidupan
Yesus sejak menjelang kelahiran sampai kenaikan-Nya, dan juga kitab yang
terpanjang dalam Perjanjian Baru.
2.
Kitab
ini mempunyai kesusastraan yang terbaik dari semua Injil, menunjukkan gaya
penulisan dan isi yang luar biasa, kosa kata kaya dan penguasaan bahasa Yunani
yang baik sekali.
3.
Lukas
menekankan cakupan universal dari Injil – bahwa Yesus datang untuk membawa
keselamatan bagi semua orang, baik orang Yahudi maupun orang bukan Yahudi. Jadi,
Lukas menekankan Injil bahwa keselamatan yang dibawa Yesus untuk semua orang,
“Walaupun kebanyakan Ia membatasi pelayanan-Nya kepada orang Yahudi, Ia
menyatakan dengan terus terang bahwa Injil itu mencakupi juga bangsa-bangsa
lain.”[35]
4.
Perhatian
Yesus terhadap orang yang serba kekurangan ditekankan, termasuk para wanita,
anak-anak, orang miskin dan kelompok yang dianggap sampah masyarakat.
5.
Injil
Lukas menekankan doa Yesus dan pengajaran-Nya mengenai doa (lih. Luk. 3:21;
5:16; 11:1, 5-13; 18:1-8).
6.
Gelar
yang terutama untuk Yesus dalam kitab ini adalah “Anak Allah.” Geroge Eldon Ladd menulis bahwa frasa “Anak
Manusia” dalam Injil Sinoptis dibagi dalam tiga kategori yaitu (1) Anak Manusia
di dunia melayani (Luk. 5:24; 6:5, 22; 7:34; 9:58; 12:10; 19:10; 22:48); (2)
Anak Manusia dalam penderitaan dan kematian (Luk. 9:22, 44; 11:30; 18:31;
22:22); (3) Anak Manusia dalam kemuliaan eskatologis (Luk. 9:26; 12:8, 40;
17:22, 24, 26, 30; 21:27; 22:69).[36]
7.
Tanggapan
sukacita menandai mereka yang menerima Yesus dan berita-Nya.
8.
Roh
Kudus diberikan peranan terpenting dalam kehidupan Yesus dan umat-Nya (mis.
Luk. 1:15, 41, 67; 2:25-27; 4:1, 14, 18; 10:21; 12:12; 24:49).
Struktur Injil Lukas[37]
I.
Pendahuluan
Injil Lukas (Luk. 1:1-4).
II.
Persiapan
bagi Sang Juruselamat (Luk. 1:5-2:52).
A.
Pewartaan
Kabar Gembira (Luk. 1:5-56).
B.
Kelahiran
Yohanes (Luk. 1:57-80).
C.
Kelahiran
dan Masa Kecil Yesus (Luk. 2:1-52).
III.
Perkenalan
Sang Juruselamat (Luk. 3:1-4:15).
A.
Pelayanan
Yohanes (Luk. 3:1-20).
B.
Pembaptisan
(Luk. 3:21-22).
C.
Silsilah
Yesus (Luk. 3:23-38).
D.
Pencobaan
(Luk. 4:1-13).
E.
Kembali
ke Galilea (Luk. 3:14-15).
IV.
Pelayanan
Sang Juruselamat (Luk. 4:16-9:50).
A.
Pernyataan
Tujuan-Nya (Luk. 4:16-44).
B.
Perwujudan
Kekuasaan-Nya (Luk. 5:1-6:11).
C.
Penunjukkan
Para Pembantu-Nya (Luk. 6:12-19).
D.
Pernyataan
Prinsip Ajaran-Nya (Luk. 6:20-49).
E.
Pelayanan
Belas Kasih-Nya (Luk. 7:1-9:17).
F.
Pemberitahuan
tentang Penyaliban (Luk. 9:18-50).
V.
Misi
Sang Juruselamat (Luk. 9:51-18:30).
A.
Tantangan
Masyarakat (Luk. 9:51-62).
B.
Penunjukan
Ketujuh Puluh Murid (Luk. 10:1-24).
C.
Pengajaran
tentang Kerajaan Allah (Luk. 10:25-13:21).
D.
Timbulnya
Pertentangan Masyarakat (Luk. 13:22-16:31).
E.
Nasihat
kepada Para Murid (Luk. 17:1-18:30).
VI.
Kesengsaraan
Sang Juruselamat (Luk. 18:31-23:56).
A.
Peristiwa
dalam Perjalanan ke Yerusalem (Luk. 18:31-19:27).
B.
Kedatangan
di Yerusalem (Luk. 19:28-44).
C.
Pertentangan
di Yerusalem (Luk. 19:45-21:4).
D.
Ramalan
tentang Yerusalem (Luk. 21:5-38).
E.
Perjamuan
Malam Terakhir (Luk. 22:1-38).
F.
Pengkhianatan
(Luk. 22:39-53).
G.
Penangkapan
dan Pengadilan (Luk. 22:54-23:25).
H.
Penyaliban
(Luk. 23:26-49).
I.
Penguburan
(Luk. 23:50-56).
VII.
Kebangkitan
Sang Juruselamat (Luk. 24:1-53).
A.
Kubur
yang Kosong (Luk. 24:1-12).
B.
Penampakan
di Emaus (Luk. 24:13-35).
C.
Penampakan
kepada Para Murid (Luk. 24:36-43).
D.
Pengutusan-Amanat
Agung (Luk. 24:44-49).
E.
Kenaikan
(Luk. 24:50-53).
BAB III
EKSPOSISI INJIL LUKAS 12:13-21
Eksposisi adalah uraian
atau paparan yang bertujuan menjelaskan maksud dan tujuan dari suatu tulisan.[38]
Dalam hal ini, penulis akan menguraikan bagian nas Lukas 12:13-21 sehingga
maksud dan tujuan dari nas ini dapat dimengerti.
Genre
Nas Lukas 12:13-21
Kata “genre,” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti
jenis, tipe atau kelompok sastra atas dasar bentuknya, ragam sastra.[39]
Genre Lukas 12:13-21 ialah perumpamaan yang berbentuk parable atau pengibaratan (Luk. 12:16-21), yang dilatarbelakangi
oleh kasus pembagian harta warisan (Luk. 12:13-15). Ada yang menjelaskan,
“Yesus mengatakan perumpamaan kepada khalayak ramai (Luk. 15:3; 18:9; 19:11)
dengan pengertian yang jelas bahwa perumpamaan-perumpamaan itu harus
dimengerti. Yesus benar-benar bermaksud supaya perkataan-Nya dimengerti.”[40]
Bentuk perumpamaan ini
ialah cerita fiktif, yang menurut beberapa penafsir menjelaskan bahwa cerita
yang demikian diambil dari keadaan dan situasi pada zaman itu. Hal ini
dimaksudkan agar pendengarnya mengerti akan apa yang diceritakan. Cerita ini
mengandung satu pengajaran yang menantang pendengarnya untuk mengambil
keputusan dan bertindak berdasarkan maksud Yesus. Oleh karena itu, hal yang
harus dilakukan untuk memahami nas ini ialah memahami pendengarnya.
Latar
Belakang Konteks
Kamus
Umum Bahasa Indonesia, kata “konteks” memiliki arti sebagai
apa yang ada di depan atau di belakang (kata, kalimat, ucapan) yang membantu
menentukan makna (kata, kalimat, ucapan, dan sebagainya).[41]
Hal ini sepadan dengan pandangan Hasan Susanto yang menjelaskan kata konteks
yaitu menunjuk pada kalimat atau bagian yang berada di sekitar ayat atau
ayat-ayat yang ingin ditafsir, bahkan ini juga dapat menunjuk seluruh isi kitab
itu atau seluruh Alkitab.[42]
Jadi, latar belakang konteks merupakan suatu pendekatan yang sangat penting
dalam metode hermeneutik.
Selain itu, analisis
konteks juga akan membantu penulis untuk memahami makna kata, tata bahasa,
modus dan ragam sastra di dalam bagian Alkitab yang ingin ditafsirkan. Jerry
Rumahlatu menjelaskan kata konteks di sini dipakai untuk menunjukkan hubungan
yang menyatukan bagian Alkitab yang ingin ditafsirkan dengan keadaan atau
peristiwa yang terjadi.[43]
Jadi, dalam hal ini penulis juga akan mempertimbangkan konteks dalam upaya
untuk menjelaskan suatu bagian Alkitab. Oleh karena itu, penulis akan
menjelaskan tentang konteks sebelum dan sesudah teks Lukas 12:13-21.
Konteks Sebelum Lukas 12:1-12
Nas Lukas 12:1-12 ini tentang
pengajaran Yesus secara khusus kepada murid-murid-Nya, di mana situasi
pengajaran-Nya ialah di tengah-tengah kerumunan orang banyak. Isi pengajaran
Yesus kepada murid-murid-Nya ialah agar mereka waspada terhadap kemunafikan
orang Farisi. Bahkan bukan hanya itu saja, tetapi mengenai pengakuan
murid-murid-Nya tentang Kristus di depan umum. Ada yang menjelaskan tentang hal
mengakui Kristus di depan umum dalam ayat 8-12 terbagi menjadi tiga bagian
yaitu dorongan agar tetap setia kepada Tuhan, peringatan agar jangan menghina
Roh Allah, dan dorongan agar tetap setia dan janji bahwa Roh Allah akan
senantiasa menolong.[44]
Selain itu, Yesus juga
mengarahkan mereka untuk takut kepada Allah karena dalam pandangan Allah,
mereka lebih berharga dibanding burung pipit yang dijual pada masa itu. Bahkan,
betapa berharganya mereka sehingga Allah tidak pernah melupakan mereka. Dengan
demikian jelas bahwa dalam konteks ini, Yesus menghendaki agar murid-murid-Nya
yang Ia persiapkan untuk melanjutkan Pelayaanan Yesus nanti, agar mereka tetap
setia kepada Yesus.
Konteks Sesudah Lukas 12:22-34
Konteks nas Lukas
12:22-34, menyatakan tentang pengajaran Yesus kepada murid-murid-Nya agar tidak
khawatir akan hidup ini. Kekhawatiran akan apa yang akan dimakan, dan khawatir
akan apa yang akan dipakai merupakan suatu bentuk ketidakpercayaan kepada Allah
sebagai pemelihara manusia. Hal ini digambarkan Yesus dalam perbandingan bahwa
Allah begitu memelihara burung-burung yang tidak manabur, menuai dan tidak
mempunyai lumbung. Apalagi manusia yang jauh melebihi burung-burung itu, tentu
Allah pasti memelihara manusia sebagai ciptaan yang berharga menurut
pandangan-Nya. Oleh karena kekhawatiran manusia, tentu manusia akan melupakan
Allah dan hanya memfokuskan diri untuk mencari materi, baik berupa makanan
maupun hal lain yang akan dipakai atau hal yang bersifat sementara.
Namun, Yesus
mengajarkan agar murid-murid-Nya percaya kepada pemeliharaan Allah bahwa Ia
menyediakan kebutuhan manusia yang bersifat sementara juga. Fokus utama dan
penekanan Yesus dalam bagian ini ialah agar murid-murid-Nya mencari Kerajaan
Allah. Hal ini digambarkan bahwa “Mencari Kerajaan Allah ialah tujuan hidup
seseorang kepada Allah sendiri dan kepada perwujudan rencana-Nya mengenai
memasukkan pemerintahan-Nya dengan segala berkatnya. Dan kepada semua pencari
seperti itu, Allah telah menjanjikan bahwa Ia akan memenuhi keinginan-keinginan
mereka.”[45]
Jadi, fokus utamanya ialah mencari Allah yang adalah pemelihara, sekaligus
sumber dari berkat-berkat yang bersifat sementara.
Makna
Leksikal Ketamakan
Kata “ketamakan” dalam bahasa Yunani ialah pleonexia (pleonexi,a) berarti keserakahan, pemaksaan, eksploitasi.[46]
Kata pleonexia
dalam Alkitab New Internasional Version
(NIV) menggunakan kata greed artinya
ketamakan, kerakusan.[47] Alkitab King
James Version (KJV) menggunakan kata covetousness
yang kata sifatnya ialah covetous dan
berarti mempunyai sifat iri hati, tamak.[48] Sedangkan
Alkitab terjemahan Bahasa Indonesia
Sehari-hari (BIS) menggunakan kata “serakah” adalah kata sifat yang artinya
selalu hendak memiliki lebih dari yang dimiliki, loba, tamak, rakus.[49] Sebagai
kata sifat, tamak (covetous) menjelaskan dan menggambarkan suatu kualitas.
Sebagai kata benda, ketamakan menggambarkan suatu keinginan yang sangat kuat
terhadap sesuatu. “Secara asasi kata itu berarti penonjolan diri yang lalim
dalam soal milik. Kata itu muncul dan sering dihubungkan dengan moralitas,
dalam daftar-daftar perbuatan jahat (Ef. 4:19). Karena pada hakikatnya
perbuatan demikian adalah pemujaan kepada diri sendiri, maka disamakan dengan
penyembahan berhala yang tertinggi (Ef. 5:5; Kol. 3:5).”[50]
Stefan Leks
menjelaskan, “Seorang tamak ingin memperoleh lebih banyak dari yang
diperlukannya, ia tidak pernah puas atau kenyang. Ketidakpuasan itu boleh dinilai sebagai tingkat
tinggi kebodohan manusia.”[51]
Pendapat ini memberikan gambaran bahwa sifat tamak yang merasuki seseorang akan
membuatnya merasa tidak puas akan harta benda yang dimilikinya atau tidak akan
pernah belajar untuk mencukupkan diri dengan apa yang ada padanya. Demikian
pula Kamus Umum Bahasa Indonesia
menjelaskan kata tamak berarti loba, serakah, sifat yang selalu ingin memiliki
sebanyak-banyaknya tanpa peduli akan orang lain.[52]
Hal ini menjelaskan bahwa bila seseorang memiliki sifat tamak, maka dalam
hidupnya ia hanya ingin memiliki barang atau hak milik orang lain untuk
kepentingan dirinya sendiri, dan tidak akan pernah peduli kepada sesama bahkan
Tuhan pun dilupakan. Bagian ini mengingatkan kepada hukum Taurat yang
menyatakan, “Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini isterinya,
atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau keledainya
atau apa pun yang dipunyai sesamamu” (Kel. 20:17). Jadi, ketamakan berarti
keinginan hati seseorang untuk memiliki hak milik orang lain dengan cara yang
tidak pantas.
Dalam Perjanjian Baru,
kata pleonexia digunakan sebanyak
sepuluh kali dalam delapan kitab. Dalam
1 Tesalonika 2:5, Paulus menjelaskan bahwa pelayanan yang ia lakukan dengan
tidak memiliki motivasi untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya, melainkan ia
melayani dengan jujur. Ada yang menjelaskan bahwa ketamakan tidak saja
berkaitan dengan keinginan untuk mendapatkan harta benda dengan cara yang
salah, tetapi juga mengenai “Keinginan untuk menonjolkan nama atau mencari
pujian dari manusia,”[53]
dalam konteks sebagai seorang pelayan Tuhan. Hal ini menggambarkan bahwa orang
yang demikian telah berusaha untuk mengambil hak Tuhan yang seharusnya ia
ditinggikan.
Dalam Efesus 4:19; 5:3,
Paulus menggunakan kata ini (pleonexia). Ada yang menjelaskan bahwa keserakahan
itu berkaitan dengan “Keinginan tak terpuaskan untuk memiliki lebih, bahkan
dengan serakah menginginkan tubuh orang lain untuk kepuasan diri sendiri.”[54]
Hal ini dihubungkan dengan dosa percabulan, di mana orang yang menginginkan persetubuhan
di luar pernikahan berarti orang itu ialah orang yang serakah. Bahkan dalam
bagian ini, penafsir yang lain juga menjelaskan bahwa orang percaya tidak hanya
berusaha menjauhkan diri dari dosa seksual, tetapi berpikir dan membicarakan
hal itu pun harus dihindari,[55]
sehingga orang percaya tidak dijerat oleh dosa ketamakan.
Ketamakan dalam 2
Korintus 9:5, Paulus menginginkan jemaat di Korintus untuk menepati janjinya
mengenai pemberian bantuan kepada orang-orang kudus di Yerusalem. Itulah
sebabnya Paulus mengutus beberapa orang yang mendahuluinya untuk mengurus
pengumpulan bantuan itu di Korintus, di mana pengumpulan bantuan itu didasarkan
pada kemurahan hati dan bukan sebagai suatu pemberian yang dipaksakan. Bagian
ini menerangkan bahwa Paulus sama sekali tidak memaksakan pemberian itu atau
Paulus tidak mencari keuntungan dari pelayanan itu. Dalam hal ini ketamakan
juga dapat dipahami sebagai memaksakan kehendak kepada orang lain untuk
keuntungan diri sendiri.
Dalam Kolose 3:5,
Paulus menyebutkan kata keserakahan lagi. Ada yang menjelaskan bahwa
“Keserakahan adalah penyembahan berhala secara rohani. Keserakahan berarti
memberikan kasih dan penghargaan terhadap kekayaan duniawi, yang seharusnya
hanya layak diberikan bagi Allah.”[56]
Hal menunjukkan bahwa Allah tidak dihormati, sebagaimana Allah telah menyatakan
hukum-Nya bahwa Dialah yang harus diutamakan dalam hidup (lih. Kel. 20:3-5).
Dalam 2 Petrus 2:3
& 14, Petrus menjelaskan bahwa guru-guru palsu itu memanfaatkan banyak
pengikutnya untuk mendapatkan keuntungan dari mereka. Guru-guru palsu itu
mengajar dengan cerita-cerita isapan jempol dan memikat banyak orang untuk
kepentingan mereka sendiri. Mereka melakukannya karena mereka adalah guru-guru
palsu yang serakah. Ini berarti bahwa orang yang melakukan berbagai cara untuk
memanfaatkan orang lain demi keuntungan diri sendiri adalah keserakahan.
Dengan demikian, makna
kata ketamakan dapat dipahami bahwa orang yang tamak selalu menempatkan
keinginginannya akan sesuatu yang sebenarnya melanggar kehendak Allah karena
keinginanya selalu bertujuan untuk selalu memuaskan keinginan diri sendiri, dan
bukan untuk memuliakan Allah.
Sedangkan
dalam Perjanjian Baru, ada beberapa istilah yang digunakan untuk menggambarkan
keinginan seseorang terhadap sesuatu, di mana istilah-istilah ini agak berbeda
maksudnya dibanding dengan makna kata ketamakan (pleonexia). Berikut ini adalah
penjelasan singkat mengenai beberapa istilah yaitu sebagai berikut:
Keinginan (Epithumia)
Istilah epithumia digunakan dalam Perjanjian Baru, di mana kata ini merujuk
kepada keinginan akan sesuatu, baik yang melanggar hukum Allah maupun tidak.
Misalnya, keinginan yang melanggar hukum terdapat dalam Matius 5:28, Yesus
menjelaskan bahwa orang yang memandang perempuan dan menginginkannya berarti ia
sudah berzinah dalam hatinya. Sedangkan keinginan yang tidak bertentangan
dengan hukum Allah terdapat dalam 1 Tesalonika 2:17 bahwa Paulus memiliki
keingian untuk bertemu dengan orang-orang bertobat yang pernah ia layani di
Tesalonika. Bagian ini menunjukkan bahwa ia tidak salah menempatkan keinginan
hatinya terhadap sesuatu yang melanggar hukum Allah. Jadi, istilah epithumia dapat dipahami berdasarkan
konteks di mana kata itu digunakan dalam Peranjian Baru.
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa orang yang menempatkan keinginan akan sesuatu yang melawan
hukum Allah berarti ia salah. Sebaliknya orang yang menempatkan keinginannya
akan sesuatu yang benar, pastilah keingiannya tidak bertentangan dengan hukum
Allah.
Keinginan (Pathos)
Istilah pathos
digunakan dalam Perjanjian Baru. Kata ini diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan arti hawa nafsu. Dalam 1 Tesalonikan 4:5, Paulus menerangkan
bahwa hawa nafsu dibuat oleh orang-orang tidak mengenal Allah. Paulus
menjelaskan bagian ini dikaitkan dengan dosa percabulan, atau orang-orang yang
hidup di luar pernikahan kudus. Itulah sebabnya Paulus menyebut mereka sebagai
orang-orang yang tidak mengenal Allah karena hidup dalam dosa percabulan.
Dengan demikian, istilah pathos adalah hawa nafsu atau keinginan untuk berbuat dosa
percabulan. Hal ini juga merupakan peringatan bagi orang-orang percaya yang
belum menikah agar menghormati Allah dengan menjaga kekudusan hidup terhadap
dosa percabulan.
Berdasarkan makna kata
dan penjelasan singkat mengenai makna ketamakan dan perbedaan istilah tentang
keinginan, maka dapat disimpulkan bahwa ketamakan mengandung arti serakah,
eksploitasi, iri hati, rakus. Hal ini berarti bahwa ketamakan selalu dimulai
dari menempatkan keinginan akan sesuatu yang berlawanan dengan kehendak Allah
dan bertujuan untuk memuliakan diri sendiri, dan bukan Alah. Oleh karena itu,
penulis akan menjelaskan pengertian dari beberapa kata ini.
Pengertian Serakah
Kamus
Besar Bahasa Indonesia menjelaskan kata serakah berarti
selalu hendak memiliki lebih dari yang dimiliki.[57]
Pengertian ini menjelaskan bahwa orang yang serakah selalu merasa tidak puas
dengan apa yang dimilikinya, dan tidak dapat menerima kenyataan bahwa orang
lain memiliki lebih dari yang dimilikinya. Sifat yang demikian akan memengaruhi
hati seseorang untuk mendapatkan barang atau hak milik orang lain dengan cara
yang tidak pantas. Dampak dari orang yang serakah akan tampak dalam kelakuanya
seperti mencuri.
Pengertian Eksploitasi
Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata eksploitasi mengandung dua arti
yaitu (1) pengusahaan, pendayagunaan; (2) pemanfaatan untuk keuntungan sendiri,
pengisapan, pemerasan.[58]
Kedua pengertian kata eksploitasi ini menerangkan bahwa orang yang memanfaatkan
sesuatu demi keuntungan atau kepentingan diri sendiri adalah hal yang salah.
Hal ini bersumber dari hati yang tamak akan sesuatu yang menjadi milik orang
lain. Dengan demikian dapat dipahami bahwa ekploitasi adalah orang yang
memaksakan kehendaknya kepada orang lain, agar kehendaknya dilakukan oleh orang
lain demi kepentingan dirinya sendiri.
Pengertian Iri Hati
Ensiklopedi
Alkitab Masa Kini menerangkan kata iri hati memiliki arti
yang sama dengan kata cemburu yakni perasaan tidak senang terhadap seseorang
yang memiliki sesuatu, yang tidak dimiliki sendiri.[59]
Atau dengan pengertian lain bahwa “iri hati adalah sifat yang tidak senang
melihat orang lain beruntung atau berhasil.”[60]
Kedua pemahaman ini menjelaskan bahwa sifat iri hati berarti menginginkan
sesuatu yang menjadi milik orang lain. Keinginan ini akan tampak dalam cara hidup
untuk mendapatkan barang orang lain dengan cara yang salah, seperti membohongi
orang lain untuk mendapatkan barang, atau juga bisa mencuri barang milik orang
lain.
Pengertian Rakus
Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata rakus mengandung dua arti
yaitu (1) suka makan banyak dengan tidak memilih, lahap, gelojoh; (2) ingin
memperoleh lebih banyak dari pada yang diperlukan, loba, tamak, serakah.[61]
Pengertian ini menjelaskan bahwa keinginan yang berlebihan terhadap sesuatu
akan memengaruhi orang untuk mendapat apa yang diinginkan, dan orang lain akan
dirugikan karena sikap rakus. Tekanannya jelas bahwa tindakan rakus selalu
merugikan orang lain dan selalu bertujuan untuk keuntungan diri sendiri.
Dengan demikian,
berdasarkan penjelasan singkat mengenai pengertian serakah, eksploitasi, iri
hati dan rakus menunjukkan bahwa semua bermula dari keinginan hati akan sesuatu
yang menjadi hak orang dan bertujuan untuk mementingkan diri sendiri, tanpa
peduli akan orang lain. Hal ini jelas bahwa semua keinginan dan tindakan dari
orang yang tamak selalu berpusat pada diri sendiri dan pasti merugikan orang
lain.
Struktur
Lukas 12:13-21
A.
Percakapan dengan Yesus (Luk. 12:13-15).
1.
Mencari Pembelaan dari Yesus (Luk.
12:13).
2.
Tanggapan dari Yesus (Luk. 12:14).
3.
Peringatan dari Yesus (Luk. 12:15).
B.
Pengajaran Yesus melalui Perumpamaan
(Luk. 12:16-21).
1. Rencana
Orang Kaya Mengenai Hartanya (Luk. 12:16-19).
2. Firman
Allah Kepada Orang Kaya itu (Luk. 12:20).
3. Kesimpulan
Pengajaran Yesus (Luk. 12:21).
Metode
Pendekatan Penafsiran
Dalam bagian ini, penulis
akan menganalisis teks dengan menggunakan metode pendekatan penafsiran
eksegesis. Pengertian eksegesis menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia ialah penjelasan atau penafsiran teks.[62] Gordon
D. Fee dan Douglas Stuart menjelaskan bahwa eksegesis adalah hal mempelajari
dan membahas Alkitab secara sistematis dan teliti untuk menemukan arti asli
yang dimaksudkan.[63]
Jadi, penulis mengambil suatu kesimpulan bahwa eksegesis ialah suatu proses
penyelidikan terhadap naskah, buku atau suatu bagian tulisan, yang mana seorang
penafsir akan menyelidiki makna kata atau frase tertentu untuk mencari makna
suatu tulisan. Oleh karena itu, penulis akan menyelidiki makna kata atau frase
tertentu dalam nas Lukas 12:13-21 untuk menemukan makna dalam tulisan ini, lalu
menginterpretasikan hasil dari eksegesis itu.
Analisis
Teks Lukas 12:13-21
Dalam bagian ini, penulis akan mengeksegesis
kata-kata atau frase penting yang terkait dalam nas ini, di mana nas ini
terbagi dalam dua bagian yaitu tentang percakapan Yesus (Luk. 12:13-15) dan
pengajaran Yesus melalui suatu perumpamaan (Luk. 12:16-21). Bagian pertama ini,
penulis akan mengeksegesis bagian-bagian penting tentang percakapan antara
Yesus dengan seseorang yang mengadukan masalahnya agar diselesaikan oleh Yesus,
yang ia anggap bahwa Yesus adalah pengantara atau hakim. Stefan Leks
menyebutkan ayat 13-15 bahwa ini adalah misi Yesus bukan soal warisan,[64]
sehingga dalam bagian ini Yesus tidak mau menyelesaikan masalah orang itu.
Dalam bagian ini pula, Blomberg menjelaskan, “Yesus tahu bahwa orang yang
meminta kepada-Nya ini tidak didorong oleh rasa keadilan, tetapi untuk
memperoleh apa yang ia sendiri inginkan, dan Yesus tidak peduli dengan urusan
mengalihkan harta dari orang yang iri dan tamak kepada saudaranya.”[65]
Hal ini jelas bahwa Yesus sungguh menolak untuk menyelesaikan perkaranya secara
tidak langsung (ay. 14), dan Yesus mengalihkan pembicaraan-Nya kepada hal
memperingati semua orang yang mendengar, dan isi peringatan itu tentang
berhati-hati terhadap ketamakan (ay. 15).
Bagian kedua, penulis akan menguraikan kata-kata
atau frase penting yang berkaitan dengan pengajaran Yesus dalam bentuk
perumpamaan tentang orang kaya yang bodoh. Yesus menggunakan kesempatan itu
untuk mengajarkan suatu hal kepada pendengar-Nya. Dalam perumpamaan ini,
dikisahkan bahwa orang kaya ini mendapat suatu hasil panen yang sangat melimpah
ruah, sehingga ia merencanakan untuk merombak tempat penyimpanan hasil panennya
menjadi lebih besar lagi demi menampung hasil panen yang didapatnya.
Menariknya, orang dalam perumpamaan ini selalu mementingkan diri sendiri,
bahkan ia sendiri merasa aman apabila rencanannya berhasil direalisasikan.
Percakapan
dengan Yesus (Luk. 12:13-15)
Dalam ayat 13-15, Lukas menulis tentang percakapan
yang terjadi antara seseorang dengan Yesus di tengah-tengah kumpulan orang
banyak. Percakapan ini berawal dari pergumulan orang itu tentang masalah harta
warisan dengan saudaranya.
Mencari Pembelaan dari Yesus (Luk.
12:13)
Seorang dari orang banyak itu berkata kepada Yesus:
“Guru, katakanlah kepada saudaraku supaya ia berbagi warisan dengan aku.”[66]
Ayat ini menjelaskan bahwa ada salah seorang dari
orang banyak meminta atau menyuruh Yesus memutuskan masalah yang sedang ia
hadapi dengan saudaranya tentang harta warisan. Maksud orang itu ialah agar
Yesus yang ia anggap sebagai Guru dapat menyelesaikan masalah warisan yang
sedang dialaminya.
Orang itu memanggil Yesus sebagai Guru, dan kata
“Guru” dalam bahasa Yunani ialah Dida,skale (didaskale) yang
memiliki bentuk kata benda vokatif maskulin tunggal, dan berasal dari kata dida,skaloj (didaskalos).[67]
Kata didaskale ini menunjukkan sapaan
atau seruan orang itu kepada Yesus yang ia panggil sebagai guru. Ada yang
mengatakan, “Panggilan ini diberikan kepada seseorang yang dihormati, sebagai
seorang pengajar tentang akhlak yang baik.”[68] Sedangkan yang lain juga menjelaskan, “Karena Yesus pada umumnya dipandang
sebagai Guru (Rabi), maka tidaklah mengherankan bahwa orang meminta
pendapat-Nya tentang suatu perkara, suatu pertikaian mengenai harta milik,”[69] untuk memutuskan perkara sesuai dengan
keinginan hatinya.
Sedangkan kata “katakanlah” dalam bahasa Yunani
ialah eivpe.
(eipe) yang memiliki bentuk kata kerja imperatif aoris aktif orang kedua
tunggal.[70]
Hasan Susanto menerjemahkan kata “katakanlah” dengan arti berkata, menyuruh, memanggil,
dan meramal.[71]
Kata kerja ini menunjuk kepada permintaan orang itu kepada Yesus, bahkan
penekanannya juga pada perintah orang itu kepada Yesus.
Kata “saudaraku” dalam bahasa Yunani ialah avdelfw/| mou (adelpho mou).[72]
Kata saudara (adelpho) adalah kata benda datif maskulin tunggal yang menunjuk
kepada objek tidak langsung. Sedangkan
kata mou (pronoun personal genitive singular)
adalah kata ganti orang pertama tunggal yang menyatakan kepemilikan dari kata
benda (saudara). Jadi, maksudnya ialah bahwa orang yang berbicara dengan Yesus
memiliki saudara.
Ada penafsir yang
menjelaskan kata “saudaraku” yang disebutkan orang itu dalam ayat 13 ini,
kemungkinan besar yang dimakud dengan saudara ialah saudara sulung atau abang
dari orang itu.[73] Stefan Leks juga menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan “orang itu” ialah adik dari saudaranya,[74]
bahkan ada yang menjelaskan bahwa perikop ini diawali dengan percekcokan antara
kakak beradik tentang pembagian warisan.[75]
Jika hal ini dihubungkan dengan ajaran bangsa Israel dalam Ulangan 21:17 bahwa
anak laki-laki yang sulung mempunyai hak istimewa yaitu memperoleh warisan dua
kali lipat dari adik-adiknya atau saudara-saudaranya, tentu ada rasa
ketidakadilan yang dialami orang itu. Seorang penulis menjelaskan hal ini dalam
bukunya,
Anak sulung
laki-laki menikmati status istimewa. Ia mewarisi porsi dua kali lipat dari
harta ayahnya, menerima berkat khusus dari ayahnya, dan menggantikan ayahnya
sebagai kepala rumah tangga, memegang otoritas atas anggota-anggota rumah
tangga lainnya. Hak anak sulung menentukan kedudukan dan status seseorang dalam
masyarakat yang berbasis kekerabatan dan hak suksesi, entah itu sebagai pemilik
harta benda, sebagai kepala rumah tangga (bapa keluarga), atau bahkan sebagai kepala
rumah tangga kenegaraan (raja).[76]
Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa ada ketidakpuasaan dari pihak orang itu kepada saudaranya
(kakaknya) mengenai pembagian harta warisan sehingga hubungan antara orang itu
dan saudaranya (kakaknya) menjadi tidak baik. Kepercayaan dalam Ulangan 21:17
membuat orang itu merasa tidak puas dan merasa tidak adil.
Sedangkan kata “berbagi”
dalam bahasa aslinya ialah meri,sasqai (merisasthai),[77] yang
berasal dari kata meri,zw (merizo) dan dipakai sebanyak 14 kali
dalan Perjanjian Baru, dan memiliki arti membagi, berbagi, membagikan, dan
memberikan.[78]
Sedangkan kata klhronomi,an
(kleronomian)[79]
adalah kata benda akusatif feminim tunggal yang menunjuk bahwa kata ini
berfungsi sebagai objek langsung. Kata
ini (kleronomian) dalam bahasa Inggris ialah an inheritance dan artinya warisan atau harta peninggalan atau
harta pusaka. Ada penulis yang menjelaskan tentang warisan (milik pusaka) bahwa
tiap keluarga dan keturunan segaris mempunyai warisannya sendiri (Bil.
27:8-11), yaitu warisan mengenai kepemilikan tanah.[80] Jadi,
maksud dari frase “berbagi warisan” dalam konteks ayat 13 ini ialah bahwa
saudaranya telah memiliki warisan sehingga ia meminta (menyuruh) Yesus agar
Yesus menyuruh saudaranya membagi warisan itu.
Jadi, maksud ayat 13
yang dipandang orang itu ialah ia ingin agar masalahnya diselesaikan oleh
Yesus. Anggapan orang itu menunjukkan bahwa ia ingin menggunakan wibawa atau
otoritas Yesus sebagai Guru, dan ia ingin dibela atau mencari jalan keluar
karena masalah yang sedang ia hadapi. Namun, Yesus tidak menuruti maksud
hatinya sehingga Yesus menolak untuk menyelesaikan masalahnya dan juga karena
Yesus menyadari bahwa Ia bukanlah
Rabi yang ditahbiskan.[81]
Hal ini berarti bahwa orang itu ingin
perkaranya dibela oleh Yesus yang adalah seorang Guru dan juga yang dikenal di
kalangan mereka pada masa itu.
Tanggapan
dari Yesus (Luk. 12:14)
Tetapi Yesus berkata kepadanya: “Saudara, siapakah
yang telah mengangkat Aku menjadi hakim atau pengantara atas kamu?”[82]
Dalam ayat ini, Yesus merespon orang itu dengan
sebutan “Saudara.” Dalam bahasa Yunani tertulis Anqrwpe
(anthrope) adalah kata benda vokatif maskulin tunggal yang berasal dari kata a;nqrwpoj (anthropos), dan arti harfiahnya
ialah seorang laki-laki (a man).[83] Kasus
kata ini (Anqrwpe) menunjuk bahwa Yesus berseru atau menyapa orang
itu. Ada yang mengatakan bahwa sapaan “Saudara” yang diucapkan oleh Yesus ialah
sebuah sapaan yang cukup tajam mengawali teguran yang tajam, walaupun tidak
bermaksud menyakiti perasaan orang itu.[84]
Sedangkan frase “siapa yang telah mengangkat Aku” dalam
bahasa aslinya ialah ti,j me
kate,sthsen. Kata ti,j (tis),[85]
di mana jenis kata itu adalah sebuah pertanyaan (who). Kata me (me) adalah kata ganti orang
pertama tunggal.[86]
Sedangkan kata kate,sthsen (katestesen)
yang memiliki arti ditunjuk, ditetapkan (appointed).[87]
Alkitab New Internasional Version
menerjemahkan appointed yang kata
kerja dasarnya ialah appoint, artinya
menentukan, menetapkan, mengangkat, menunjuk.[88]
Jadi, frase “siapa yang telah mengangkat Aku” menjelaskan bahwa Yesus
menanyakan suatu jabatan yang secara tidak langsung telah dinyatakan oleh orang
itu terhadap diri Yesus atau dikenakan kepada Yesus sebagai hakim atau
pengantara (bnd. ay. 13). Selain itu, Yesus juga menegaskan diri-Nya bahwa Ia adalah
seorang Guru (Rabi) yang tidak sama dengan “Ahli-ahli Taurat dan rabi-rabi yang
mengurus perkara-perkara sipil dan agamawi,”[89]
tetapi Ia dikenal sebagai seorang Guru yang berkuasa dalam pengajaran-Nya (Mrk.
1:22). Hal ini dapat dilihat dalam ayat-ayat selanjutnya bahwa Yesus
memperingatkan dan mengajar orang banyak (Luk. 12:15-21), bahkan, baik dalam
konteks sebelum maupun konteks sesudah menyatakan bahwa Yesus adalah seorang
Guru.
Sedangkan frase “menjadi hakim” dalam bahasa aslinya
ialah krith.n (kriten), artinya a judge: seorang hakim.[90]
Dari bentuk kasus kata ini (krith.n),
maka jelas bahwa orang itu menjadikan Yesus sebagai hakimnya (objek langsung)
untuk membela perkaranya. Ada yang menjelaskan bahwa pengantara (devider) ialah
orang yang bertindak sebagai hakim untuk memutuskan tentang harta milik yang
dipertengkarkan.[91]
Namun, konteks ini menjelaskan bahwa Yesus tidak bertindak sebagai seorang
hakim atau pengantara untuk menyelesaikan masalah orang itu, tetapi Yesus tetap
memposisikan diri-Nya sebagai seorang Guru yang mengajar, baik orang itu maupun
orang banyak pada waktu itu.
Dengan demikian, ayat 14 menjelaskan bahwa “Yesus
menolak untuk membuat keputusan demi kepentingan satu orang.”[92]
Hal ini berarti bahwa pada waktu itu Yesus juga menyadari posisi diri-Nya
sebagai Guru, dan bukan hakim atau pengantara sehingga Yesus menggunakan
kesempatan itu untuk memperingatkan dan mengajar tentang segala ketamakan akan
harta benda.
Peringatan
dari Yesus (Luk. 12:15)
Kata-Nya lagi kepada mereka: “Berjaga-jagalah dan
waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah
hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu.”[93]
Kata “berjaga-jagalah” dalam bahasa aslinya ialah ~Ora/te . (horate)[94]
yang berasal dari kata o`ra,w
(horao) dan berarti melihat, mengunjungi, tampak, mengalami, mengetahui,
mengerti, memperhatikan, berjaga-jaga, mengurus.[95] Sedangkan
kata “waspadalah” dalam bahasa aslinya ialah fula,ssesqe (phulassesthe)
yang berasal dari kata fula,ssw
(phulasso) dan berarti menjaga, berhati-hati (to guard), menjaga, memelihara (keep).[96] Kedua
kata ini (Ora/te .
& fula,ssesqe)
menunjuk kepada mereka yang mendengar peringatan dari Yesus dan isinya ialah suatu
perintah yang harus dilakukan secara terus-menerus untuk melindungi diri dari
sesuatu yang berasal dari luar diri manusia. Matthew Henry menjelaskan kedua
kata ini bahwa mengawasi diri berarti menjaga hati dengan baik-baik sehingga
sikap tamak tidak merasuki hati, dan memelihara diri, yaitu membalut hati
rapat-rapat sehingga ketamakan tidak menguasai dan memerintah dalam hati.[97]
Jadi, konteks ayat 15 ini menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan sesuatu
yang dari luar diri manusia ialah sifat tamak, di mana semua orang harus
berjuang secara terus-menerus untuk berhati-hati terhadap kekayaan. Hal ini
bukan berarti bahwa kekayaan materi adalah sesuatu yang jahat, tetapi sikap
hati orang yang mencintai kekayaan lebih dari mengasihi Allah sendiri adalah
hal yang ditentang oleh Allah sendiri (bnd. 1 Tim. 6:10). Konteks ini menganjurkan
untuk waspada terhadap segala ketamakan karena hidup manusia tidak tergantung pada
kekayaan yang dimilikinya. Ini artinya, “kebahagiaan dan kesenangan kita tidak
bergantung pada kepemilikan atas kekayaan yang melimpah di dunia.”[98]
Frase “segala ketamakan” dalam bahasa aslinya ialah pa,shj (pases)[99]dan pleonexi,aj\
(pleonexias).[100]
Dalam Alkitab Penuntun Hidup
Berkelimpahan menjelaskan kata ketamakan sama dengan “kehausan untuk
memiliki lebih banyak,”[101] tentang
segala jenis harta benda untuk memuaskan diri sendiri. Jadi, maksud ungkapan
Yesus tentang frase pases pleonexias
menunjuk dan menjelaskan bahwa keinginan akan segala warisan atau harta benda,
yang mana fokus hidupnya hanya berpusat pada kekayaan duniawi.
Sedangkan kata “hidup” dalam bahasa aslinya ialah zwh. (zoe),[102] yang
dalam bahasa Inggris artinya life.
Dari bentuk kasusnya, maka kata “hidup” juga merupakan subjek dari orang yang
memiliki banyak harta yang diungkapkan Yesus dalam ayat 15. Hasan Susanto memberikan dua arti tentang
hidup yaitu hidup secara jasmani atau hidup baru.[103] Stefan
Leks juga menjelaskan kata “hidup” di sini searti dengan hidup yang
sesungguhnya, bukan hidup fisik saja.[104]
Matthew Henry menjelaskan bahwa kehidupan jiwa tidak tergantung pada kekayaan,
bahkan kehidupan tubuh dan kebahagiaannya pun tidak terletak pada kelimpahan
harta benda duniawi karena banyak orang yang mempunyai sedikit kekayaan duniawi
namun hidup dengan tenang.[105]
Hal ini berarti bahwa kekayaan secara materi tidak menjamin bahwa hidup
seseorang akan menjadi aman dan tenang.
Dengan demikian, ayat 15 ini menjelaskan bahwa Yesus
memperingatkan orang itu, di mana ia adalah orang yang memiliki sifat tamak
menurut pandangan dari Yesus sendiri. Oleh karena itu, Yesus menegur dan
memperingatkan orang itu, bahkan semua mereka yang ada di situ. Isi teguran dan
peringatan Yesus ialah agar mereka berhati-hati terhadap sifat tamak karena
hidup manusia tidaklah bersumber dari kekayaan secara materi, tetapi hidup
adalah pemberian Allah (bnd. Mat. 4:4), dan jaminan keamanan hidup tidak dapat
diperoleh dari kekayaan materi.
Pengajaran
Yesus melalui Perumpamaan (Luk. 12:16-21)
Dalam bagian ini, Yesus menggunakan suatu kesempatan
yang berawal dari percakapan antara Dia dengan seseorang, kemudian Ia
menceritakan sebuah perumpamaan tentang orang kaya yang bodoh kepada mereka
yang ada di tempat itu.
Rencana
Orang Kaya Mengenai Hartanya (Luk. 12:16-19)
Kemudian Ia mengatakan kepada mereka suatu
perumpamaan, kata-Nya: “Ada seorang kaya, tanahnya berlimpah-limpah hasilnya.”[106]
Dalam ayat ini Yesus mulai menceritakan perumpamaan
tentang orang kaya. Menurut J. H.
Bavinck, penggolongan perumpamaan Yesus yang salah satu di antaranya ialah
perumpamaan sederhana dan kebanyakan diambil dari kejadian alam atau pertanian
atau perikanan.[107] Hal
ini dimaksudkan agar pendengarnya dapat memahami pesan yang disampaikan, bahkan
pendengar juga ditantang untuk mengambil suatu keputusan untuk bertindak sesuai
dengan pesannya.
Frase “berlimpah-limpah hasilnya” dalam bahasa
aslinya ialah euvfo,rhsen (euphoresen)[108]
dan maksud frase ini menunjukkan bahwa Yesus mengumpamakan seseorang yang kaya
dan yang memiliki banyak hasil panen. Alkitab New International Version (NIV) menerjemahkan frase ini yaitu produced a good crops yang artinya
secara harfiah ialah menghasilkan hasil panen yang baik. Dan penafsir yang lain
menjelaskan frase “berlimpah-limpah hartanya” dengan arti yang lain yaitu
memiliki harta lebih dari cukup.[109]
Jadi, Yesus menceritakan suatu perumpamaan kepada orang itu sekaligus kepada
orang banyak itu bahwa ada orang yang kaya dan memiliki banyak hasil panen yang
baik.
Ia bertanya dalam hatinya: “Apakah yang harus aku
perbuat, sebab aku tidak mempunyai tempat di mana aku dapat menyimpan hasil
tanahku.”[110]
Frase “Ia bertanya” dalam bahasa aslinya ialah dielogi,zeto (dielogizeto).[111]
Dan kata dielogizeto ini berasal dari kata dialogizomai yang berarti membicarakan,
mempertimbangkan.[112] Kata
ini menunjuk bahwa orang kaya itu telah memikirkan atau mempertimbangkan
sesuatu tentang hartanya.
Lalu katanya: “Inilah yang akan aku perbuat; aku
akan merombak lumbung-lumbungku dan aku akan mendirikan yang lebih besar dan
aku akan menyimpan di dalamnya segala gandum dan barang-barangku”.[113]
Frase “akan aku perbuat” dalam bahasa aslinya ialah poih,sw (poieso),[114] dan
berasal dari kata poie,w
(poieo) yang artinya melakukan, berbuat.[115]
Konteks ayat ini menunjuk kepada suatu tindakan yang akan dilakukan oleh orang
kaya itu pada masa yang mendatang. Tindakan yang akan ia lakukan ialah untuk
merombak, mendirikan dan menyimpan segala kekayaannya.
Frase “aku akan merombak” dalam bahasa aslinya ialah
kaqelw
(kathelo).[116]
Konteks ayat ini menunjuk kepada suatu tindakan yang akan dilakukan oleh orang
kaya itu yakni tindakan untuk merombak atau meruntuhkan lumbung-lumbung
penyimpanan kekayaannya. Hal ini ia lakukan karena lumbung-lumbungnya tidak
mampu menampung, baik hasil penennya maupun barang-barangnya yang lainnya. Ini
berarti bahwa ia telah merencanakan sesuatu untuk ia kerjakan. Konteks ayat ini
menjelaskan bahwa ia hendak membuat suatu tempat penyimpanan yang lebih besar
lagi atau dengan kata lain ia hendak merombak tempat penyimpanan hasil panen
yang sebelumnya.
Frase “aku akan mendirikan” dalam bahasa aslinya
ialah oivkodomh,sw (oikodomeso), dan kata dasarnya
ialah kaqaire,w
yang berarti membangun, memperbaiki akhlak.[117]
Konteks ayat ini menunjuk kepada suatu tindakan yang akan dilakukan oleh orang
kaya itu untuk membangun kembali lumbung-lumbungnya yang telah ia runtuhkan
sebelumnya, lalu ia akan mendirikan lumbung yang lebih besar lagi.
Frase “aku akan menyimpan” dalam bahasa aslinya
ialah suna,xw (sunaxo),
[118]
yang berasal dari kata suna,gw
(sunago) artinya mengumpulkan, menyimpan.[119] Konteks
ayat ini menunjuk kepada suatu tindakan yang akan dilakukan oleh orang kaya itu
untuk mengumpulkan seluruh hasil panennya agar disimpan di dalam lumbung yang
akan ia rombak.
Dengan demikian, hal yang menarik dalam ayat 18 ini
ialah, baik kata “aku” maupun kata pengganti orang pertama tunggal (ku) yang menunjuk
kepada dua hal yaitu kekuasaan orang itu atas hidupnya dan kepemilikan orang
itu atas harta bendanya. Ini berarti
bahwa semua rencananya berorientasi pada dirinya sendiri, dan hal ini (akan
merombak, akan mendirikan, dan akan menyimpan) menunjukkan bahwa ia adalah
orang yang mementingkan diri sendiri. Barclay menjelaskan bagian ini bahwa
orang kaya itu sangat bersikap mengkonsentrasikan segala sesuatu pada dirinya
sendiri, yang mana ia hanya menyimpan segala sesuatu bagi dirinya.[120]
Namun, kehidupan orang percaya digambarkan oleh Yesus sebagai seorang bendahara
yang mengelola harta milik tuannya, di mana bendahara itu memiliki status
sebagai pengelola dan bukan pemilik kekayaan itu (lih. Luk. 16:1-9).
Sesudah itu aku akan berkata kepada jiwaku: “Jiwaku,
ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya;
beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah!”[121]
Frase “Aku akan berkata kepada jiwaku.” Kata evrw/
(ero) berbentuk kata kerja future aktif orang pertama tunggal. Kata evrw/ berasal
dari kata le,gw (lego) dan memiliki arti berkata.[122] Kata
evrw/ menunjuk kepada tindakan yang akan dilakukan oleh orang
kaya itu dalam bentuk ucapan kepada jiwanya sendiri di masa yang akan datang. Kata te
(th definite article dative feminine singular from o`) adalah kata artikel yang dalam bahasa Inggris ialah the.[123]
Kata artikel ini menunjuk kepada objek tidak langsung. Kata yuch/| (psukhe) adalah kata benda datif feminim tunggal yang
artinya jiwa yang merupakan objek tidak langsung.[124] Jadi,
kata artikel menunjang kata benda (jiwa) yang berarti “kepada jiwa itu.” Sedangkan
kata mou (mou
pronoun personal genitive singular from evgw,) atau kata pengganti orang pertama tunggal dan artinya ialah
saya (ku).[125]
Kata ini menunjuk kepada kata ganti orang pertama tunggal yang memperjelas kepemilikan
dari kata benda (jiwa). Dengan demikian, frase ini menjelaskan bahwa tokoh
orang kaya itu akan berbicara kepada dirinya sendiri.
Kata “beristirahatlah” dalam bahasa aslinya ialah avnapau,ou (anapauou)
yang berbentuk kata kerja present
imperatif middle orang kedua tunggal, dan berasal dari kata avnapau,w (anapauo)
yang berarti istirahatlah.[126] Kata
ini menunjuk kepada tokoh orang kaya itu yang memerintahkan dirinya sendiri
untuk melakukan sesuatu secara terus-menerus. Jadi, maksudnya ialah tokoh orang
kaya itu berkata kepada dirinya sendiri untuk beristirahat dari segala jerih
payahnya, dan hal ini dilakukannya secara terus-menerus.
Kata makanlah fa,ge (phage) dari evsqi,w (esthio).[127] Kata
ini menggambarkan tindakan yang dilakukan oleh orang kaya yang bodoh itu kepada
dirinya sendiri, yaitu tindakan makan. Hal ini menunjukkan bahwa ia hanya
menikmati makanannya sendiri tanpa peduli kepada sesamanya.
Kata pi,e (pie) yang berarti minumlah.[128] Kata ini menggambarkan tindakkan yang dilakukan oleh tokoh
orang kaya itu kepada dirinya sendiri, yaitu tindakkan minum.
Sedangkan kata “bersenang-senanglah” dalam bahasa
aslinya ialah euvfrai,nou (euphrainou) dari kata euvfrai,nw (euphraino)
yang artinya bersukacita.[129] Konteks
ayat ini menjelaskan bahwa kata ini menunjuk kepada tokoh orang kaya itu dalam menjalani
hidupnya dengan bersenang-senang secara terus-menerus.
Dengan demikian, ayat 19 ini
menggambarkan bahwa orang kaya itu mengukur dirinya sama dengan kekayaan materi
yang dimilikinya. Stefan Leks menjelaskan bagian ini bahwa kata
“Beristirahatlah, makanlah dan minumlah mengungkapkan hidup enak (Pkh. 8:15;
Luk. 12:45).”[130]
Artinya bahwa ia hidup karena dan untuk kekayaan materinya, di mana ia hanya
menikmati kekayaannya untuk diri sendiri. Ada juga yang menjelaskan bahwa kata
makan, minum dan bersenang-senang adalah ungkapan ekspresi dari pandangan
hedonisme (kenikmatan materi adalah tujuan hidup) yang terpisah dari hidup yang
akan datang atau penghakiman.[131] Hal
ini menunjukkan bahwa ia tidak menyadari hidup adalah anugerah Allah dan
kekayaan materi juga adalah pemberian dari Allah sendiri, yang mana ia juga
harus menggunakan kekayaanya untuk membantu sesamanya.
Selain itu, tindakan yang
dilakukan oleh tokoh orang kaya itu selalu berfokus pada dirinya sendiri.
Tindakan yang demikian menunjukkan bahwa tujuan hidupnya ialah hanya untuk
memuaskan diri sendiri. Boland menjelaskan bahwa ia mengira tujuan hidupnya
telah tercapai (merasa aman) sehingga ia menikmati kekayaannya tanpa kuatir,
dan juga ia sama sekali tidak menghiraukan Allah dalam hidupnya.[132]
Bahkan, hal ini juga berarti bahwa orang kaya itu sama sekali tidak peduli
kepada sesamanya.
Firman
Allah kepada Orang Kaya itu (Luk. 12:20)
“Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau orang
bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah
kau sediakan, untuk siapakah itu nanti?”[133]
Kata Afron atau
aphron (adjective vocative masculine singular)[134]
artinya foolish: bodoh. Kata aphron ini menunjukkan bahwa ada suatu
sifat yang ada dalam tokoh orang kaya itu, yaitu tentang sikap hati yang keliru
terhadap harta bendanya sehingga Allah sendiri mengatakan bahwa ia adalah orang
kaya yang bodoh.
Frase “jiwamu akan diambil dari padamu.” Bagian ini menunjukkan bahwa jiwa adalah
milik Allah sendiri. Seorang penafsir menjelaskan bagian ini bahwa hidup (jiwa)
adalah pinjaman dari Allah atau dengan kata lain adalah pemberian dari Allah,
dan suatu saat akan diambil pula oleh Allah.[135]
Ada yang menjelaskan bagian ini bahwa “orang kaya tersebut tidak memperhitung
adanya panggilan mendadak yaitu waktu ia harus menghadap Allah dan meninggalkan
semua harta yang telah ia kumpulkan dengan susah payah.”[136]
Dengan demikian, konteks ayat 20 ini menjelaskan bahwa ada suatu konsekuensi
yang diterima oleh orang kaya yang bodoh itu karena tindakannya sendiri. Dan
konsekuensi yang diterimanya ialah berasal dari Allah sendiri, yaitu hidupnya
akan diambil oleh Allah sendiri.
Kesimpulan
Pengajaran Yesus (Luk. 12:21)
“Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan
harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah.”[137]
Kata “mengumpulkan.” Kata qhsauri,zwn
(thesaurizon) berasal dari kata qhsauri,zw (thesaurizo) berarti store up yang diterjemahkan menimbun.[138] Kata
ini menunjuk kepada tindakan yang biasa atau secara terus-menerus yang dilakukan
oleh orang kaya itu dalam mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, dan tindakan
yang demikian menurut pandangan Allah adalah suatu kebodohan.
Sedangkan frase “kaya di hadapan Allah” dalam bahasa
aslinya ialah eivj qeo.n ploutw/n (eis theon plouton).[139] Kata eis
adalah preposisi atau kata depan dengan kasus akusatif. Kata qeo.n (theon) adalah kata
benda akusatif maskulin tunggal, artinya Allah. Kata plouton berasal dari kata ploute,w (plouteo) dan memiliki
arti to be rich yang diterjemahkan menjadi kaya.[140] Kata
ini menunjuk pada suatu proses yang dilalui oleh orang bodoh itu sehingga ia
memiliki banyak kekayaan secara materi, bahkan hal ini dilakukan secara terus
menerus. Ada yang menjelaskan bahwa kaya di hadapan Allah adalah menghormati
Tuhan dengan kekayaan mempunyai dua maksud dalam ayat 21 ini yaitu respon iman,
dan penempatan harta benda sesuai dengan iman.[141]
Hal ini berarti bahwa kekayaan yang diberikan Tuhan direspon dengan iman, dan
harta benda juga digunakan untuk membantu sesama.
Berdasarkan konteks ayat 21 ini, kata orang kaya ini
menunjukkan bahwa di dalam hidupnya ia hanya memikirkan dan bertindak tentang
bagaimana ia memperoleh harta benda bagi dirinya sendiri, bahkan hanya ini saja
yang mau ia kerjakan sepanjang hidupnya. Hal ini berarti bahwa hidup
seakan-akan adalah milik kepunyaannya sendiri dan ia berkuasa atas hidupnya
sendiri, tanpa menginsafi bahwa semua yang dimilikinya adalah kepunyaan Allah.[142]
Namun, frase “kaya di hadapan Allah” adalah pertama-tama bersyukur karena
kewargaan kerajaan-Nya yang telah dikaruniakan kepadanya, dan selanjutnya
bersyukur karena segala sesuatu yang diperolehnya (materi) sebagai tambahan
(bnd. Ay. 31).[143]
Tafsiran Wycliffe menambahkan bahwa kekayaan secara materi juga dapat
diinvestasikan untuk nilai-nilai yang abadi (bnd. Luk. 16:9),[144]
atau dengan kata lain kekayaan materi dapat digunakan untuk melayani sesama
demi memuliakan Allah.
Kesimpulan
Jadi, dalam dua bagian
penjelasan di atas tentang percakapan Yesus dan pengajaran Yesus melalui
perumpamaan, maka dapat disimpulkan bahwa: Pertama, ayat 13 menjelaskan tentang
permohonan orang itu kepada Yesus agar warisan dapat diperolehnya. Bagian ini
memiliki beberapa indikasi bahwa (1), orang itu mempunyai hak atas warisan atau
milik pusaka dalam keluarganya; (2), ia tidak mendapat warisan; dan (3), ia
sudah mendapat bagiannya, tetapi ia menginginkan lebih lagi karena saudaranya
(kakaknya) mendapat warisan lebih banyak dari pada orang itu. Namun, indikasi
yang terakhir ini lebih cocok karena dalam ayat 15 Yesus memperingatkan orang
itu dan mereka semua yang mendengar bahwa sumber kehidupan bukan dari kekayaan
yang berlimpah-limpah, tetapi dari Allah sendiri. Hal ini dikatakan Yesus
karena ketamakan adalah keinginan seseorang untuk memperoleh harta benda secara
berlebihan. Tafsiran Wycliffe
menjelaskan, “Yang diinginkan oleh orang itu bukan keadilan, tetapi kekayaan.
Dan ia memohon kepada Yesus untuk memakai otoritas-Nya,”[145]
agar keinginannya terpenuhi. Dengan demikian, orang itu mau menjadikan Yesus
sebagai jembatan atau pengantara untuk menyelesaikan masalahnya, atau dengan
kata lain ia mau memanfaatkan Yesus untuk memuaskan keinginannya. Selanjutnya ayat
14 menunjukkan bahwa Yesus menolak permohonannya. Yesus sendiri
menegaskan bahwa diri-Nya bukanlah seorang hakim atau dengan kata lain, Yesus
menolak menyelesaikan persoalan harta warisan yang sedang dihadapi oleh salah
seorang pendengar-Nya. Dari kisah ini, sebenarnya Yesus tidak mempersoalkan
harta sebagai suatu masalah, tetapi yang menjadi persoalan ialah sikap hati
manusia terhadap harta. Lukas 12:15 menekankan bahwa sikap tamak adalah akar
atau inti dari masalah harta warisan. Bila hal ini dihubungkan dengan konteks
Lukas 12:22-34, tentu Yesus mau mengajarkan, baik kepada murid-murid-Nya maupun
mengarahkan orang-orang yang mendengar pengajaran-Nya agar mereka mencari
Kerajaan Allah yang memberikan jaminan hidup, dan bukan mencari harta dunia,
sebab “kelimpahan harta materi tidak memberikan manusia jaminan,”[146]
melainkan hanya di dalam Allah saja.
Kedua, Lukas menjelaskan
bahwa Yesus menggunakan suatu kesempatan itu untuk mengajarkan suatu
perumpamaan tentang orang kaya yang bodoh. Yesus menunjukkan dalam Lukas
12:16-21 bahwa orang yang sepanjang hidupnya hanya mencari kekayaan duniawi,
suatu saat hidupnya akan diambil oleh Allah. Dalam perumpamaan ini, dikisahkan
bahwa orang kaya ini mendapat suatu hasil panen yang sangat melimpah ruah,
sehingga ia merencanakan untuk merombak tempat penyimpanan hasil panennya
menjadi lebih besar lagi demi menampung hasil panen yang didapatnya.
Menariknya, orang dalam perumpamaan ini selalu mementingkan diri sendiri,
bahkan ia sendiri merasa aman apabila rencanannya berhasil direalisasikan
karena tokoh dalam perumpamaan ini memiliki cara pandang hidup dan gaya hidup
yang bertujuan pada kekayaan materi dan penggunaan kekayaan hanya untuk
kesenangan sendiri. Hal ini bertentangan dengan ciri hidup orang percaya yang
harus menggunakan hartanya untuk menolong sesamanya.
BAB
IV
IMPLIKASI
MAKNA KETAMAKAN BERDASARKAN LUKAS 12:13-21 BAGI KEHIDUPAN ORANG PERCAYA MASA
KINI
Wujud dari Ketamakan
Ketamakan adalah keinginan untuk mendapatkan kekayaan
secara “berlebihan”. Yang dimaksud dengan berlebihan ialah ketika seseorang
“Mengingini yang menggantikan kerinduan akan Tuhan dengan kesukaan pada
barang-barang.”[147]
Hal ini menunjukkan bahwa Tuhanlah yang harus diutamakan dalam segala sesuatu.
Jadi, ketamakan adalah dosa dalam hati, yang kemudian berbuah dalam tindakan
seseorang dengan cara hidup yang hanya mencari kekayaan dan menampung kekayaan
duniawi untuk menyenangkan diri sendiri. Oleh karena itu, penulis akan
menjelaskan wujud dari orang yang memiliki sifat tamak terhadap kekayaan.
Mencintai Diri Sendiri
Mencintai diri
sendiri adalah wujud dari orang yang memiliki tujuan hidup hanya untuk mencari
kekayaan dan menikmati kekayaannya demi kesenangannya sendiri. Dalam artikelnya
Marthinus Mamonto tentang “Pelayan dan Pelayanan Gereja,” ia meneliti bahwa dua
hal dihadapi oleh gereja, baik secara internal maupun eksternal tentang keduniawian atau sekularisasi masa kini yaitu
egoisme (hanya mementingkan diri), dan egosentris (berpusat pada diri sendiri).[148]
Ciri hidup mementingkan diri sendiri dan hanya mau menikmati kekayaan demi
kesenangan diri dapat disaksikan dalam gaya hidup seseorang. Hal ini dijelaskan
bahwa ciri yang demikian adalah “Gaya hidup hedonis yang
merupakan suatu pola hidup yang aktivitasnya untuk mencari kesenagan, seperti
lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah, lebih banyak bermain, senang
pada keramaian kota, senang membeli barang yang disenangi, serta selalu ingin
menjadi pusat perhatian.”[149]
Gaya hidup ini menunjukkan bahwa orang yang demikian memiliki managemen
kehidupan pribadi yang berfokus pada diri sendiri. Jadi, gaya hidup yang
demikian adalah gaya hidup yang mementingkan diri sendiri, yang mana tujuan
hidupnya adalah untuk memuaskan diri sendiri. Hal ini telah dijelaskan Yesus
dalam Lukas 12:16-19 bahwa orang yang demikian tentu memiliki suatu rencara
hidup yang hanya untuk menyenangkan diri sendiri.
Kekayaan Menjadi Fokus Hidup
Perumpamaan yang dikisahkan Yesus dalam
ayat 16-21 menjelaskan bahwa orang kaya itu mencurahkan seluruh hidupnya hanya
untuk mencari kekayaan materi. Hal ini tampak bahwa ia adalah seorang pekerja
keras, di mana ia adalah orang kaya, bahkan ia menggunakan kekayaannya untuk
merombak lumbung-lumbungnya yang kurang besar karena hasil panen yang diperoleh
jauh lebih banyak dari pada tempat penyimpanan atau lumbung-lumbungnya. Hal ini
juga sangat jelas dikatakan Rasul Paulus bahwa orang yang ingin menjadi kaya
disebabkan oleh motif mencintai uang akan menanggung konsekuensinya sendiri (1
Tim. 6:9-10). Itulah sebabnya, jelas bahwa Yesus telah memperingatkan
pendengar-Nya untuk berhati-hati terhadap kekayaan materi yang tidak dapat
memberikan jaminan hidup (Luk. 12:15).
Selain itu, sikap hati yang tamak akan
memengaruhi seseorang untuk memikirkan diri sendiri, bahkan dalam bertindak
hanya mencari keuntungan bagi diri sendiri. Hal ini jelas dalam kisah
perumpamaan Yesus tentang orang kaya yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa
peduli kepada orang miskin (Luk. 16:19-21). Bahkan Yesus juga pernah menantang
seorang pemuda kaya untuk menjual segala harta miliknya dan membagikan kepada
orang miskin, lalu mengikut Yesus. Namun pemuda itu amat mencintai kekayaannya
sehingga ia tidak mau melakukannya (Luk. 18:18-27). Hal ini bertentangan dengan
ajaran Kekristenan, I Made Suardana mengatakan, “Berbelaskasihan adalah
penegasan hidup Yesus kepada mereka yang membutuhkan pertolongan-Nya. Dalam
pelayanan-Nya, Yesus memakai sebuah pendekatan melalui perumpamaan. Perumpamaan
orang Samaria murah hati menegaskan pengajaran Yesus tentang sikap yang harus
dibangun oleh orang Kristen terhadap sesama.”[150]
Dengan demikian, ketamakan akan membuat seseorang memiliki cara hidup yang
mementingkan diri sendiri dan sama sekali tidak peduli kepada sesama yang
berkekurangan.
Fakta
menunjukkan bahwa hidup manusia tidak
dapat dilepaskan dari kebutuhan-kebutuhan jasmani. Ketika Tuhan menciptakan
manusia, Ia juga menyediakan kebutuhan-kebutuhan jasmani baginya (Kej. 1:29).
Dan bahkan Tuhan menempatkan manusia pertama dalam taman Eden untuk
mengusahakan dan memelihara tempat itu (Kej. 2:15). Namun, setelah manusia
pertama jatuh ke dalam dosa, Tuhan menghukum manusia agar ia bekerja keras demi
memenuhi kebutuhannya secara jasmani (Kej. 3:17). Hal ini pula dialami oleh
semua orang, termasuk orang-orang percaya pada zaman ini, di mana orang-orang
percaya juga harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya. Tetapi, bagi
orang Kristen ada harapan karena Yesus Kristus telah menebus dari kutuk itu,
dan orang percaya didorong agar dalam perkataan atau perbuatan dilakukan dalam
nama Tuhan Yesus sambil mengucap syukur kepada Allah (Kol. 3:17).[151]
Dalam bekerja
pun tentu ada hasil yang diperoleh, contohnya seperti mendapat gaji atau upah.
Dan kebanyakan orang salah memahami tentang upah yang diperoleh, di mana mereka
memiliki persepsi dan keyakinan tentang kekayaan yang seolah-olah memberikan
janji bahwa upah yang diperoleh memberikan kepuasan tersendiri, memberikan rasa
cukup dan memberikan rasa aman. Ini adalah bentuk ironi dari kekayaan yang
seolah-olah memberikan janji kepada manusia.
Pada hal, bila dicermati tentu yang diperoleh ialah kekayaan tidak akan
pernah dan tidak pernah bisa memberikan rasa puas, rasa cukup, dan rasa aman.
Hal ini sama dengan penjelasan bahwa materialisme memiliki daya tarik, di mana
banyak orang dilanda mitos materialisme melalui televisi, radio, surat kabar
yang terus-menerus mempromosikan gagasan bahwa memperoleh materi akan membuat
bahagia.[152]
Hal ini menerangkan bahwa materi seolah-olah menjanjikan kebahagiaan hidup bagi
manusia.
Bahkan dalam
bekerja pun, tiap orang memiliki motivasi dan tujuan yang berbeda-beda, di mana
hal itulah yang mendorongnya untuk bekerja. Ada yang karena menginginkan untuk
mendapat banyak harta benda demi kepentingan sendiri, dan ada pula yang karena
mau mengabdikan dirinya dalam pekerjaannya untuk melayani sesama, serta ada
pula yang malas bekerja. Paulus sendiri telah menjelaskan bagian ini dalam jemaat
di Tesalonika bahwa tiap-tiap orang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan
jasmani, sebagaimana ia sendiri menunjukkan teladan (1 Tim. 5:8; 1 Tes. 2:9; 2
Tes. 3:10).
Bila seseorang
memiliki motivasi dalam bekerja untuk mencari kekayaan materi, tentu yang
menjadi pendorong dalam dirinya untuk bekerja ialah harta. Pemusatan pada usaha
mendapatkan benda akan menumpulkan kehendak batin untuk melayani Allah dan
melayani orang lain.[153]
Jika hal ini dimiliki oleh seseorang, maka berbagai hal akan dilakukan untuk
mendapatkan harta, baik dengan cara menipu, mencuri, ataupun bekerja dengan
giat. Bahkan, setelah memiliki banyak harta, maka ia merasa tidak akan puas
dengan harta sehingga ia akan terus-menerus mengejar kekayaan, dan ciri orang
yang demikianlah yang disebut dengan orang yang memiliki sifat tamak atau
serakah. Dan hal itu akan tampak dalam gaya hidup hedonis, yakni di mana
“Kecenderungan gaya hidup hedonisme akan munculnya tingkah laku individu
melalui interaksi sosial yang berkaitan dengan penggunaan waktunya, keadaan
yang dianggap penting, serta pemikiran tentang dirinya yang bertujuan untuk
kenikmatan atau kegembiraan dengan mengabaikan norma.”[154]
Dampak dari Ketamakan
Dalam bagian ini, penulis akan menjelaskan dampak dari
ketamakan yang merugikan diri sendiri, merusak hubungan dengan sesama, merusak
hubungan dengan Allah, di mana Allah tentu menyatakan hukuman-Nya bagi orang
yang tamak.
Merugikan Diri Sendiri
Akibat dari
gaya hidup yang mencintai kekayaan dan mementingkan diri sendiri, maka ia akan
merugikan diri sendiri, sebagaimana telah diungkapkan rasul Paulus dalam 1
Timotius 6: 9-10, “Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan,
ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan mencelakakan,
yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. Karena akar segala kejahatan ialah cinta
uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan
menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.”
Firman Tuhan ini jelas bahwa keinginan untuk menjadi kaya akan membuat
orang jatuh ke dalam berbagai masalah yang mencelakakan, dan membinasakan.
Bahkan orang percaya pun yang melakukan hal demikian tentu mereka sudah
menyimpang dari iman dan terjerumus dalam berbagai dukacita.
Bila menyaksikan media sosial ataupun layar televisi, tentu banyak kasus kejahatan yang
ditayangkan dengan berbagai motif, dan salah satunya ialah yang berkaitan
dengan cinta harta duniawi, seperti kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh
beberapa pejabat negara, yang kemudian berujung di balik jeruji besi. Bahkan
bukan hanya mereka, tetapi juga siapa saja yang mencintai kekayaan duniawi atau
memiliki sifat tamak akan berakhir dengan penyesalan dalam jeruji besi, atau
sebaliknya tidak pernah merasa bersalah. Hal-hal yang demikian telah tertulis
dalam Alkitab, sebagai contoh Gehazi yang mendapat hukuman (penyakit kusta)
dari Tuhan karena cinta akan harta (2 Raj. 5:21-27). Kisah-kisah seperti ini
menunjukkan bahwa orang yang menginginkan harta pasti mendapat hukuman, dan
yang berujung pada kerugian atas diri sendiri.
Merusak Hubungan Persaudaraan dalam
Keluarga
Akibat dari perebutan harta warisan
dalam keluarga itu, tentu mengakibatkan hubungan orang itu dan saudaranya
menjadi rusak. Hal ini dapat dilihat dari pengaduan orang itu kepada Yesus
tentang masalah pembagian warisan. Orang itu melihat warisan adalah fokus
utamanya sebagaimana dijelaskan oleh beberapa penafsir bahwa yang diinginkan
orang itu adalah warisan atau kekayaan, tetapi bukan keadilan. Ini menunjukkan
bahwa kasih kepada saudaranya menjadi pudar, di mana keinginan (tamak) untuk
mendapatkan warisan yang lebih telah membuat orang itu merusak hubungan
persaudaraan antara mereka dalam keluarga, bahkan ia mengorbankan perintah
Tuhan Yesus tentang mengasihi sesama (Mat. 22:39), dan yang telah diajarkan
sejak zaman Perjanjian Lama.
Alkitab dengan
jelas menyatakan bahwa orang yang tamak akan kekayaan akan melakukan berbagai
cara yang curang untuk mendapatkan kekayaan (Ams. 21:6), seperti menipu atau
mencuri untuk mendapatkan harta benda. Cara-cara yang demikian merupakan
tindakan yang merugikan orang lain, di mana orang yang melakukan hal demikian
telah merusak hubungannya dengan sesama. Dengan demikian, orang tidak akan
mempercayai orang yang berlaku curang untuk mendapatkan harta. Contohnya perebutan harta warisan dalam sebuah keluarga
karena menginginkan warisan. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara saudara
dalam sebuah keluarga menjadi rusak.
Merusak Hubungan dengan Allah
Selain hubungan persaudaraan menjadi
rusak, maka hubungan antara dia dengan Allah juga menjadi rusak. Dalam
perumpamaan ini, Yesus mengajarkan bahwa pandangan Allah terhadap orang yang
tamak dan mementingkan diri sendiri tentu hidupnya akan diambil Allah sendiri
(Luk. 12:20). Kisah orang kaya dan Lazarus menggambarkan hukuman Allah terhadap
orang kaya itu, di mana setelah orang kaya itu meninggal dunia dan ternyata ia
berada di tempat penyiksaan, ia memohon kepada Abraham supaya mengutus seorang
pergi untuk memperingatkan sanak saudaranya yang masih hidup, supaya mereka
terhindar dari tempat sengsara itu (Luk. 16:27-28).[155]
Hal ini jelas bahwa semasa hidup orang kaya itu, ia tidak menggunakan
kekayaannya untuk melayani orang yang membutuhkan seperti Lazarus, bahkan dapat
dikatakan bahwa orang kaya ini tidak hidup dalam pertobatan di hadapan Allah.
Dalam kasus perumpamaan Lukas 12:16-21, bahwa orang kaya itu akan segera
dihukum Allah karena ia hidup hanya untuk dirinya sendiri, bahkan ditegaskan
dalam ayat 21 bahwa hanya orang yang kaya di hadapan Allah saja yang beroleh
hidup.
Demikian juga
dengan setiap orang percaya yang menginginkan harta benda untuk menjadi kaya,
akan jatuh ke dalam berbagai masalah yang mencelakakan, bahkan menenggelamkan
mereka ke dalam keruntuhan dan kebinasaan (1 Tim. 6:9). Walaupun seseorang
memiliki suatu jabatan yang baik dalam pekerjaannya dan memberikan penghasilan
yang baik, namun memiliki motivasi untuk mencari harta demi keuntungan dan
kepentingan sendiri, maka ia akan mengalami hal yang seperti Rasul Paulus
katakan.
Hal ini dengan
tegas dikatakan dalam Alkitab bahwa orang yang menjadikan harta benda sebagai
pusat dalam kehidupannya, maka ia sedang berada dalam hukuman Allah, di mana
tindakannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah yang adalah Hakim yang
adil, dan yang menghukum orang yang berbuat dosa. Itulah sebabnya, Tuhan Yesus
telah memberikan peringatan yang tegas dalam Lukas 12:15, 20 bahwa orang yang hidupnya
hanya mencari kekayaan akan mendapat hukuman dari Allah sendiri. Ini
menunjukkan bahwa hubungan dengan Allah menjadi rusak karena dosa ketamakan, di
mana orang yang tamak tidak menjadikan Allah sebagai yang terutama dalam
hidupnya. Jadi, kenyataan yang demikian menunjukkan bahwa hubungannya dengan
Allah menjadi rusak.
Berjaga-Jaga dan Waspada Terhadap Ketamakan
Alkitab dengan
tegas menyatakan bahwa kekayaan adalah milik Allah (bnd. Kej. 1:29), yang juga
diberikan kepada manusia. Namun,
seringkali manusia salah memiliki persepsi tentang kekayaan dan juga menjadikan
kekayaan sebagai yang terutama dalam hidup, sehingga ada peringatan untuk
berhati-hati terhadap kekayaan secara materi. Ada yang
menjelaskan dalam Matius 6:33 tentang “carilah dahulu Kerajaan Allah dan
kebenarannya” bahwa Yesus berbicara tentang majikan manusia yang utama – apakah
itu Allah atau uang, dan dasar kepercayaan, sikap serta motivasi hidup.
Selanjutnya semua tahap kebutuhan hidup akan dipenuhi.[156] Hal
ini menunjukkan bahwa Allahlah yang harus menjadi yang terutama dalam hidup,
dan bukan kekayaan yang menggantikan posisi Allah sebagai yang terutama dalam
hidup manusia.
Hal ini berarti bahwa “orang Kristen
yang dewasa mengandalkan kebutuhannya pada Allah dan dengan rela membantu orang
lain tanpa bertanya berapa banyak yang akan diperoleh.”[157]
Artinya bahwa Allahlah yang dijadikan sebagai yang terutama dalam hidup, dan
berkat materi yang diperoleh pula tidak digunakan hanya untuk diri sendiri,
tetapi juga berbagi dengan sesama yang membutuhkan. Orang yang demikian
menunjukkan bahwa ia belajar mencukupkan diri dengan pemberian Allah, dan
mengucap syukur atas pemberian Allah (bnd. 1 Tim. 6:7-8).
BAB
V
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil uraian yang dilakukan oleh penulis terhadap Injil Lukas 12:13-21 mengenai
makna ketamakan dan implikasinya bagi kehidupan orang percaya masa kini, maka
penulis menarik beberapa kesimpulan yakni sebagai berikut:
Pertama,
ketamakan adalah dosa tentang keinginan akan harta benda atau keinginan akan
hak milik orang lain yang akan nyata dalan perilaku hidup manusia, yang mana
orang yang tamak akan melupakan Allah, tidak puas dengan berkat dari Allah,
mementingkan diri sendiri, mencintai kekayaan dan hidupnya hanya mau
bersenang-senang tanpa peduli kepada sesamannya.
Kedua,
orang yang tamak dibenci oleh Allah, dan Allah menyatakan hukuman bagi mereka
yang tamak, baik hukuman yang akan dialaminya semasa hidupnya di dunia ini,
maupun pada masa yang akan datang.
Ketiga,
kekayaan memiliki ironi seperti menawarkan suatu kebahagiaan bagi manusia,
sehingga manusia seringkali terkecoh olehnya dan terjatuh dalam dosa ketamakan.
Namun, Alkitab dengan tegas menyatakan bahwa kebahagiaan yang sejati tidak bisa
didapat melalui kekayaan, melainkan hanya di dalam Allah saja.
Keempat,
Tuhan Yesus memperingatkan agar berhati-hati terhadap kekayaan dunia karena
kekayaan akan membuat seseorang melupakan Allah dan mencintai kekayaan dunia.
Oleh karena itu, Yesus mengarahkan bahwa orang yang kaya di hadapan Allah
adalah orang-orang yang berbahagia. Maksudnya ialah orang yang tetap mengasihi
Allah walaupun memiliki banyak harta benda, ataupun dalam keadaan
berkekurangan, baik dalam keadaan suka maupun dalam keadaan duka.
Saran
Sehubungan
dengan seluruh hasil uraian penulis dalam skripsi ini, maka penulis bermaksud
untuk memberikan saran-saran bagi para pembaca mengenai topik pembahasan makna
ketamakan terhadap harta benda yang dianggap penting, yakni sebagai berikut:
Pertama,
dengan melihat betapa berbahayanya dosa ketamakan terhadap kekayaan duniawi,
maka hal ini sebaiknya diajarkan dalam jemaat sebagai suatu peringatan bagi
umat-Nya dan para pemimpin rohani, agar bermawas diri terhadap dosa itu.
Kedua,
tamak terhadap kekayaan duniawi memiliki arti dan makna yang sangat dalam dan
luas. Oleh sebab itu, bagian ini perlu
dipelajari lebih lanjut lagi sehingga memperoleh pemahaman yang jelas dan
lengkap.
KEPUSTAKAAN
Alkitab
Alkitab
Terjemahan Baru. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia,
2007.
Stamps, Donald C. (ed). Alkitab
Penuntun Hidup Berkelimpahan. Malang: Gandum Mas, 2009.
Sutanto, Hasan. PB
Interlinear Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru Jilid I &
II. Jakarta: LAI, 2003.
Kamus
Badudu, J. S. & Sutan Mahammad Zain. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1994.
Poerwadarminta, W. J. S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1986.
Salim, Peter. Advance
English Indonesia Dictionary Second Edision. Jakarta: Modern English Press,
1989.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka, 2001.
Buku-Buku
Barclay, William. Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Injil Lukas. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1996.
Barnet, Jake. Harta
dan Hikmat: Pandangan Alkitab tentang Kekayaan. Bandung: Kalam Hidup, 1987.
Bavinck, J. H. Sejarah
Kerajaan Allah: Perjanjian Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.
Blomberg, Craig L. Tidak Miskin Tetapi juga Tidak Kaya: Teologi Alkitab tentang
Kepemilikan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011.
Boland, B. J. Tafsiran
Alkitab Injil Lukas. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
Brake, Andrew. Hidup
Bijak di Dunia yang Bodoh: Menggali Sumber Hikmat Sejati dari Kitab Amsal. Bandung:
Kalam Hidup, 2015.
Brill, J. Wesley. Tafsiran Surat Tesalonika. Bandung: Kalam Hidup, 2008.
Bruce, F. F. Dokumen-Dokumen
Perjanjian Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991.
Douglas, J. D. (ed). Ensiklopedi
Alkitab Masa Kini Jilid I (A-L). Jakarta: YKBK/OMF, 1995.
Douglas, J. D. (ed). Ensiklopedi
Alkitab Masa Kini Jilid II (M-Z). Jakarta: YKBK/OMF, 1995.
Drane, John. Memahami
Perjanjian Baru: Pengantar Historis-Teologis. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2013.
Duyverman, M. E.
Pembimbing Ke Dalam Perjanjian
Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015.
Fee, Gordon & Douglas Stuart. Hermeneutik: Bagaimana Menafsirkan Firman
Tuhan Dengan Tepat. Malang: Gamdum Mas, 2001.
Guthrie,
Donald (ed), dkk. Tafsiran Alkitab Masa
Kini 3 Matius-Wahyu: Berdasarkan Fakta-fakta Sejarah Ilmiah dan Alkitabiah. Jakarta: BPK Gunung Mulia & OMF/Yayasan
Komunikasi Bina Kasih, 2013.
Harvey, Dave. Worldliness
(Keduniawian): Melawan Godaan Dunia yang Sudah Jatuh dalam Dosa. Bandung:
Pionir Jaya, 2014.
Henry, Matthew. Tafsiran
Injil Lukas 1-12. Surabaya:
Momentum, 2009.
Herianto. Teologi
Sukses Antara Allah dan Mamon. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.
Jerry & Mary White. Bekerja: Arti, Tujuan dan Masalah-masalahnya. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1990.
Johnson, Luke Timothy. The Gospel of Luke.
Collegeville: The Liturgical Press, 1991.
King, Philip J. & Lawrence E. Stager. Kehidupan Orang Israel Alkitabiah.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.
Ladd, George Eldon. Teologi Perjanjian Baru Jilid I. Bandung: Kalam Hidup, 1999.
Morris, Leon. Teologi
Perjanjian Baru. Malang: Gandum Mas, 2014.
O’Brien, Peter Thomas. Surat Efesus. Surabaya: Momentum, 2013.
Osborne, Grant R. Spiral Hermeneutika: Pengantar Komprehensif Bagi Penafsiran Alkitab.
Surabaya: Momentum, 2012.
Pandensolang, Welly. Gramatika dan Sintaksis Bahasa Yunani Perjanjian Baru. Jakarta: YAI
Press, 2010.
Panggarra, Robi. Diktat
Pengantar Perjanjian Baru I. Makassar: STT Jaffray, 2011. Belum
dipublikasikan.
Pfeiffer, Charles F. & Everett F. Harrison (ed).
Tafsiran Alkitab Wycliffe Volume 3
Perjanjian Baru. Malang: Gandum Mas, 2001.
Ronda, Daniel (ed). Prosiding Seminar Khotbah Kontemporer. Makassar: Sekolah Tinggi
Theologia Jaffray, 2015.
Rumahlatu, Jerry.
Hermeneutika: Sepanjang Masa. Jakarta: Cipta Varia Sarana, 2011.
Sembiring, M. K. (ed), dkk. Pedoman Penafsiran Alkitab Injil Lukas. Jakarta: Lembaga Alkitab
Indonesia & Yayasan Karunia Bakti Budaya Indonesia, 2005.
Stott, John R. W. Seri Pemahaman dan Penerapan Alkitab Masa Kini: Efesus. Jakarta:
Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2003.
Suawa, Ferdinan K. Memahami Gramatika Dasar: Bahasa Yunani Koine. Bandung: Kalam
Hidup, 2009.
Sutanto, Hasan. Hermeneutik:
Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab Edisi Revisi. Malang: Literatur SAAT,
2011.
Tenney, Merril C. Survei Perjanjian Baru. Malang: Gandum Mas, 2013.
Yo, Solomon (ed). Tafsiran Matthew Henry Surat Galatia, Filipi, Kolose, 1 & 2
Tesalonika, 1 & 2 Timotius, Titus, Filemon. Surabaya: Momentum 2015.
Internet
Cateora,
Philip R. Pemasaran Internasional 1 Edisi
ke-13. Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2007. Diakses 20 Juni 2017.
https://books.google.co.id/books?id=N5M44AHX9xwC&pg=PA170&dq=pandangan+tentang+ketamakan&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwj5wqPHhsnUAhWKPY8KHVDUDFYQ6AEIITAA#v=onepage&q=pandangan%20tentang%20ketamakan&f=false
Leks,
Stefan. Tafsiran Injil Lukas. Yogyakarta: Kanisius, 2003. Diakses 10 Mei
2017. https://books.google.co.id/books?id=Eg4tVxWW6NQC&pg=PA7&hl=id&source=gbs_selected_pages&cad=3#v=onepage&q&f=false
Lumoindong,
Gilbert. Menang atas Masalah Hidup.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010. Diakses 7 Agustus 2017. https://books.google.co.id/books?id=cFpvijbtDDUC&pg=PA118&dq=iri+hati&hl=en&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=iri%20hati&f=false
Jurnal
Akatukunda, Emmanuel. “Peringatan tentang
Ketamakan.” Jurnal Pembentukan dan
Refleksi Rohani Living Life Lukas 12:13-21, 2 Maret 2017, 28-31.
Fuadi.
“Metode Historis: Suatu Kajian Filsafat Materialisme Karl Marx.” Substantia 17, No. 2 (Oktober 2015):219-230. Diakses 31Maret 2017. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=388784&val=7080&title=Metode%20Historis:%20Suatu%20Kajian%20Filsafat%20Materialisme%20Karl%20Marx
Suardana,
I Made. “Identitas Kristen Dalam Realitas Hidup Berbelaskasihan: Memaknai Kisah
Orang Samaria Yang Murah Hati.” Jurnal
Jaffray 13, No. 1 (April 2015):121-138. Diakses 20 Februari 2017. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=307679&val=7142&title=Identitas%20Kristen%20dalam%20Realitas%20Hidup%20Berbelaskasihan:%20%20Memaknai%20Kisah%20Orang%20Samaria%20yang%20Murah%20Hati
Trimartati,
Novita. “Studi Kasus Tantang Gaya Hidup
Hedonisme Mahasiswa Bimbingan dan Konseling Universitas Ahmad Dahlan”, Psikopedagogia 3, No.1 (2014):20-28.
Diakses 18 Mei 2017. https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjM5fTo8ffTAhUBQY8KHWDPCsIQFggwMAI&url=http%3A%2F%2Fjournal.uad.ac.id%2Findex.php%2FPSIKOPEDAGOGIA%2Farticle%2Fdownload%2F4462%2F2581&usg=AFQjCNHXESC4sNKzWVWwMPHk4D6cvSwYGQ&sig2=M1zPQKDtpTMmKfsSSs3EFg
Zulkifli,
Al Ridho. “Gaya Hidup Hedonisme di Kalangan Mahasiswa Penerima Beasiswa Kaltim
Cemerlang 2014 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman.”
eJournal Sosiatri-Sosiologi 4
(2016):72-85. Diakses 18 Mei 2017. http://ejournal.sos.fisip-unmul.ac.id/site/wp-content/uploads/2016/02/02_format_artikel_ejournal_mulai_hlm_genap-1%20(02-17-16-07-13-51).pdf
Majalah
Pardede,
Vido Fransisco. “Kejatuhan Megastar Pastor Dr. David Yonggi Cho.” Majalah Praise, edisi 6 Maret 2014.
Diakses 9 Maret 2017. http://www.majalahpraise.com/kejatuhan-megastar-pastor-dr.-david-yonggi-cho-903.html
Software
Bible
Works Version 7
Sabda:
OLB versi Indonesia, 4.13.02
[1] Philip R.
Cateora, Pemasaran Internasional 1 Edisi
ke-13 (Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2007) 170, diakses 20 Juni 2017, https://books.google.co.id/books?id=N5M44AHX9xwC&pg=PA170&dq=pandangan+tentang+ketamakan&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwj5wqPHhsnUAhWKPY8KHVDUDFYQ6AEIITAA#v=onepage&q=pandangan%20tentang%20ketamakan&f=false
[2] Donald Guthrie (ed), dkk, Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 Matius-Wahyu:
Berdasarkan Fakta-fakta Sejarah Ilmiah dan Alkitabiah (Jakarta: BPK Gunung
Mulia & OMF/Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2013), 233.
[3] B. J. Boland, Tafsiran Alkitab: Injil Lukas (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2003),393.
[4] Fuadi, “Metode Historis: Suatu
Kajian Filsafat Materialisme Karl Marx”, Substantia
17, No. 2 (Oktober
2015):220, diakses 31 Maret 2017, http://download.portalgaruda.org/article.php?article=388784&val=7080&title=Metode%20Historis:%20Suatu%20Kajian%20Filsafat%20Materialisme%20Karl%20Marx
[5] Bahan ini diambil oleh penulis
dari Emmanuel Akatukunda, “Peringatan tentang Ketamakan,” Jurnal Pembentukan dan Refleksi Rohani Living Life Lukas 12:13-21, 2 Maret 2017, 31.
[6] Herianto, Teologi Sukses Antara Allah dan Mamon (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2009), 7.
[7] Vido Fransisco
Pardede, “Kejatuhan Megastar Pastor Dr. Yonggi Cho,” Majalah Praise, edisi 6 Maret 2014, diakses 9 Maret 2017, http://www.majalahpraise.com/kejatuhan-megastar-pastor-dr.-david-yonggi-cho-903.html
[8] Herianto, Teologi Sukses Antara Allah dan Mamon, 164.
[9] Hasan Susanto, Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran
Alkitab Edisi Revisi (Malang: Literatur SAAT, 2011), 3.
[10] Grant R. Osborne, Spiral Hermeneutika: Pengantar Komprehensif
bagi Penafsiran Alkitab (Surabaya: Momentum, 2012), 5.
[11] Gordon D. Fee & Douglas
Stuart, Hermeneutik: Bagaimana
Menafsirkan Firman Tuhan dengan Tepat (Malang: Gamdum Mas, 2000), 8.
[13] John Drane, Memahami Perjanjian Baru: Pengantar Historis-Teologis
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013), 221.
[14] Merrill C. Tenney, Survei Perjanjian Baru (Malang: Gandum
Mas, 2013), 218.
[15] F. F. Bruce, Dokumen-Dokumen Perjanjian Baru
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), 78.
[16] F. F. Bruce, Dokumen-Dokumen Perjanjian Baru, 87.
[17] B. J. Boland, Tafsiran Alkitab: Injil Lukas (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2003), 4.
[18] Merrill C. Tenney, Survei Perjanjian Baru, 69.
[19] Donald Guthrie (ed), dkk, Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 Matius-Wahyu:
Berdasarkan Fakta-fakta Sejarah Ilmiah dan Alkitabiah, 185.
[20]
Leon Morris, Teologi Perjanjian Baru,
198.
[21] M. E. Duyverman, Pembimbing Ke Dalam Perjanjian Baru
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 34-35.
[22]
John Drane, Memahami Perjanjian Baru:
Pengantar Historis-Teologis, 221.
[23] Tenney, 220.
[24] Tenney, 288-289.
[25] Tenney, 216.
[26] J. D. Douglas (ed), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I A-L (Jakarta:
Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1995),
651.
[27] Donald C. Stamps (ed), Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan
(Malang: Gandum Mas, 1994), 1756.
[28] Tenney, 221.
[29] B. J. Boland, Tafsiran Alkitab: Injil Lukas, 17.
[30] J. D. Douglas (ed), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z (Jakarta:
Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1995), 464.
[31] Tenney, 216.
[32] M. E. Duyverman, Pembimbing Ke Dalam Perjanjian Baru, 78.
[33] Robi Panggarra, Diktat Pengantar Perjanjian Baru I
(Makassar: STT Jaffray, 2011), 29-30. Belum dipulikasikan.
[34] Donald C. Stamps (ed), Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan,
1621.
[35]
Donald Guthrie (ed),
dkk, Tafsiran Alkitab Masa Kini 3
Matius-Wahyu: Berdasarkan Fakta-fakta Sejarah Ilmiah dan Alkitabiah, 186
[36] Penulis hanya meringkas dari
sudut pandang Injil Lukas untuk digunakan seperlunya dalam karya ilmiah ini.
George Eldon Ladd, Teologi Perjanjian
Baru Jilid 1 (Bandung: Kalam Hidup, 1999), 196-199.
[37] Tenney, Survei Perjanjian Baru, 223.
[38] Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka,
2001), s.v. “eksposisi”
[39] Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi Ketiga, s.v. “genre”
[40] Gordon D. Fee & Douglas
Stuart, Hermeneutik: Bagaimana
Menafsirkan Firman Tuhan dengan Tepat, 138 & 139.
[41] W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 1986), s.v. “Konteks”
[42] Hasan Susanto, Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran
Alkitab Edisi Revisi, 299.
[43] Jerry Rumahlatu, Hermeneutika Sepanjang Masa (Jakarta:
Cipta Varia Sarana, 2011), 103.
[44] M. K. Sembiring (ed), dkk, Pedoman Penafsiran Alkitab Injil Lukas (Jakarta:
Lembaga Alkitab Indonesia & Yayasan Karunia Bakti Budaya Indonesia, 2005),
415.
[45] Donald Guthrie (ed), dkk, Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 Matius-Wahyu:
Berdasarkan Fakta-fakta Sejarah Ilmiah dan Alkitabiah, 225.
[46] Ferdinan K. Suawa, Memahami Gramatika Dasar Bahasa Yunani Koine
(Bandung: Kalam Hidup, 2009), 326.
[47] Peter Salim, Advance English Indonesia Dictionary second
Edision (Jakarta: Modern English Press, 1989), s.v. “greed”
[48] Peter Salim, Advance English Indonesia Dictionary second
Edision, s.v. “covetous”
[49] Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, s.v. “serakah”
[50] J. D. Douglas (ed), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z,
441.
[51] Stefan Leks, Tafsiran Injil Lukas (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 332, diakses 10
Mei 2017, https://books.google.co.id/books?id=Eg4tVxWW6NQC&pg=PA7&hl=id&source=gbs_selected_pages&cad=3#v=onepage&q&f=false
[52] J. S. Badudu & Sutan
Mahammad Zain, Kamus Umum Bahasa
Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), s.v. “Tamak &
Ketamakan”
[53] J. Wesley Brill, Tafsiran Surat Tesalonika (Bandung:
Kalam Hidup, 2008), 42.
[54] Peter Thomas O’Brien, Surat Efesus (Surabaya: Momentum, 2013),
440.
[55] John R. W. Stott, Seri Pemahaman dan Penerapan Alkitab Masa
Kini: Efesus (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2003), 186.
[56] Solomon Yo (ed), Tafsiran Matthew Henry Surat Galatia,
Filipi, Kolose, 1 & 2 Tesalonika, 1 & 2 Timotius, Titus, Filemon
(Surabaya: Momentum 2015), 394.
[57] Kamus Besar Bahasa Indonesia, s.v. “serakah”
[58] J. D. Douglas (ed), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I A-L,
290.
[59] J. D. Douglas (ed), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I A-L,
444 & 213.
[60] Gilbert Lumoindong, Menang atas Masalah Hidup (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2010), 118, diakses 7 Agustus 2017,
https://books.google.co.id/books?id=cFpvijbtDDUC&pg=PA118&dq=iri+hati&hl=en&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=iri%20hati&f=false
[61] Kamus Besar Bahasa Indonesia, s.v. “rakus”
[62] Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi Ketiga, s.v. “eksegesis”
[63] Gordon D. Fee & Douglas
Stuart, Hermeneutik: Bagaimana
Menafsirkan Firman Tuhan dengan Tepat, 19.
[64] Stefan Leks, Tafsiran Injil Lukas (Yogyakarta:
Kanisius, 2003), 329, diakses 10 Mei 2017, https://books.google.co.id/books?id=Eg4tVxWW6NQC&pg=PA7&hl=id&source=gbs_selected_pages&cad=3#v=onepage&q&f=false
[65] Craig L. Blomberg, Tidak Miskin Tetapi juga Tidak Kaya: Teologi
Alkitab tentang Kepemilikan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 116-117.
[66] Lukas 12:13 (TB).
[67] BYM Morphology + Gingrich, Word
Analysis, In Bible Works Version
7, s.v. “Dida,skale”. Kasus vokatif memiliki dua fungsi yaitu untuk
menyapa orang atau benda tertentu oleh pembicara, dan juga berfungsi untuk
menyerukan sesuatu dengan emosi yang dalam kepada pribadi tertentu. Bagian
ini dikutip dari buku Welly
Pandensolang, Gramatika dan Sintaksis
Bahasa Yunani Perjanjian Baru (Jakarta: YAI Press, 2010), 129.
[68] M. K Sembiring (ed), dkk, Pedoman Penafsiran Alkitab Injil Lukas,
418.
[69] Donald Guthrie (ed), dkk, Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 Matius-Wahyu:
Berdasarkan Fakta-fakta Sejarah Ilmiah dan Alkitab, 224.
[70] Fungsi modus imperatif
menyatakan suatu tindakan yang akan terjadi atau terwujud melalui pemakaian
kehendak seseorang dalam memengaruhi kehendak orang lain. Selain itu, modus imperatif juga sering menyatakan permohonan yaitu
menyatakan suatu permintaan dan bukan perintah langsung. Sedangkan fungsi kala atau tense aoris ialah untuk menjelaskan
tindakan yang telah selesai dikerjakan pada masa lampau. Dengan demikian kala
aoris menjelaskan suatu tindakan masa lampau yang pernah ada dan dapat
dibuktikan atau bukti dari peristiwa tertentu masih tersedia, dikutip dari buku
Welly Pandensolang, Gramatika dan
Sintaksis Bahasa Yunani Perjanjian Baru, 56. Analisis kata eivpe. berasal dari kata le,gw yang
diambil dari BYM Morphology + Gingrich, Word Analysis, In Bible Works
Version 7, s.v. “eivpe.“
[71] Hasan Susanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia
dan Konkordansi Perjanjian Baru Jilid II, Edisi Revisi (Jakarta: Lembaga
Alkitab Indonesia, 2014), 230, s.v. “eipon”
[73] M. K. Sembiring (ed), dkk, Pedoman Penafsiran Alkitab Injil Lukas, 418.
[74] Stefan Leks, Tafsiran Injil Lukas (Yogyakarta:
Kanisius, 2003), 330, diakses 10 Mei 2017, https://books.google.co.id/books?id=Eg4tVxWW6NQC&pg=PA7&hl=id&source=gbs_selected_pages&cad=3#v=onepage&q&f=false
[75] Craig L. Blomberg, Tidak Miskin Tetapi juga Tidak Kaya: Teologi
Alkitab tentang Kepemilikan, 116.
[76] Philip J. King & Lawrence E.
Stager, Kehidupan Orang Israel Alkitabiah
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 53.
[77] meri,sasqai verb
infinitive aorist middle from meri,zw yang dikutip dari BYM Morphology +
Gingrich, Word Analysis, In Bible
Works Version 7, s.v. “meri,sasqai”. Infinitif
adalah kata benda verbal yang tidak diinfleksikan. Petrus Maryono menjelaskan
infinitif sebagai kata kerja yang berfungsi untuk menyatakan tujuan kata kerja
pokok dan untuk memperlihatkan akibat atau tujuan kata kerja pokok, dari buku
Welly Pandensolang, Gramatika dan
Sintaksis Bahasa Yunani Perjanjian Baru, 119-120.
[78] Hasan Susanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia
dan Konkordansi Perjanjian Baru Jilid II, Edisi Revisi (Jakarta: Lembaga
Alkitab Indonesia, 2014), 479, s.v. “meri,zw”
[79]
klhronomi,an dari klhronomi,a yang
diambil dari BYM Morphology + Gingrich, Word Analysis, In Bible Works Version 7, s.v. “klhronomi,an”
[80] Philip J. King & Lawrence E.
Stager, Kehidupan Orang Israel Alkitabiah,
54.
[81] Donald Guthrie (ed), dkk, Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 Matius-Wahyu:
Berdasarkan Fakta-fakta Sejarah Ilmiah dan Alkitabiah, 224.
[82] Lukas 12:14 (TB).
[84] M. K Sembiring (ed), dkk, Pedoman Penafsiran Alkitab Injil Lukas,
419.
[85] ti,j pronoun interrogative
nominative masculine singular, diambil dari BYM Morphology + Gingrich, Word Analysis, In Bible Works
Version 7, s.v. “ti,j”
[87] kate,sthsen verb indicative
aorist active 3rd person singular from kaqi,sthmi, diambil dari BYM Morphology + Gingrich, Word Analysis, In Bible Works Version 7, s.v. “kate,sthsen”. Modus Indikatif ialah modus
yang menyajikan tindakan sebagai suatu kepastian atau menunjukkan suatu
tindakkan yang benar-benar terjadi, dikutip dari buku Ferdinan K. Suawa, Memahami Gramatika Dasar Bahasa Yunani Koine,
36.
[88] Peter Salim, Advance English Indonesia Dictionary second
Edision, 45, s.v. “Appoint”
[89] Donald Guthrie (ed), dkk, Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 Matius-Wahyu: Berdasarkan Fakta-fakta Sejarah Ilmiah dan
Alkitabiah, 225.
[90] krith.n noun accusative masculine singular common from krith,j yang dikutip dari BNM
Morphology + Gingrich, Word Analysis, In Bible Works Version 7, s.v. “krith.n”
[92] Charles F. Pfeiffer &
Everett F. Harrison (ed), Tafsiran Alkitab
Wycliffe Volume 3 Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 2008), 256.
[93] Lukas 12:15 (TB).
[94] ~Ora/te verb
imperative present active 2nd person plural from o`ra,w yang diambil dari BYM
Morphology + Gingrich, Word Analysis, In
Bible Works Version 7, s.v. “~Ora/te”.
[95] Hasan Susanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia
dan Konkordansi Perjanjian Baru Jilid II, Edisi Revisi, 541, s.v. “o`ra,w”
[96] fula,ssesqe verb imperative present middle
2nd person plural from fula,ssw yang diambil dari BYM Morphology +
Gingrich, Word Analysis, In Bible
Works Version 7, s.v. “fula,ssesqe”
[97] Matthew Henry, Tafsiran Matthew Henry: Injil Lukas 1-12
(Surabaya: Momentum, 2009), 442.
[98] Matthew Henry, Tafsiran Matthew Henry: Injil Lukas 1-12,
442.
[99] pa,shj adjective indefinite
genitive feminine singular no degree from pa/j yang
diambil dari BNM Morphology + Gingrich,
Word Analysis, In Bible Works Version
7, s.v. “pa,shj”. Arti kata pases ialah segala, semua.
[100]
pleonexi,aj\
noun
genitive feminine singular from pleonexi,a yang
diambil dari BNM
Morphology + Gingrich, Word Analysis, In
Bible Works Version 7, s.v. “pleonexi,aj\”.
Fungsi utama kata benda (noun) ialah sebagai subjek atau objek kalimat. Namun,
secara sintaktikal, kata benda mencakup jenis-jenis kata yang lain yang dapat
mengganti peran dari kata benda, salah satunya yaitu: kata sifat yang
berhubungan dengan fungsinya untuk menyatakan kualitas dari kata benda,
sehingga posisi tertentu, kata sifat berfungsi sebagai kata benda. Sedangkan genitif
disebut sebagai kasus keterangan, sebab kasus tersebut berperan untuk
menjelaskan kata benda yang terkait dengannya dalam sebuah kalimat. Bagian ini
dari buku Welly Pandensolang, Gramatika dan Sintaksis Bahasa Yunani
Perjanjian Baru, 125 & 129.
[101] Donald C. Stamps (ed), Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan,
1658.
[102] zwh. noun
nominative feminine singular from zwh, yang diambil dari BYM
Morphology + Gingrich, Word Analysis, In
Bible Works Version 7, s.v. “zwh.”
[103] Hasan Susanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia
dan Konkordansi Perjanjian Baru Jilid I, Edisi Revisi (Jakarta: Lembaga
Alkitab Indonesia, 2014), 386, s.v.
“zoe”
[104] Stefan Leks, Tafsiran Injil Lukas (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 332, diakses 10
Mei 2017, https://books.google.co.id/books?id=Eg4tVxWW6NQC&pg=PA7&hl=id&source=gbs_selected_pages&cad=3#v=onepage&q&f=false
[105] Matthew Henry, Tafsiran Matthew Henry: Injil Lukas 1-12,
443.
[106] Lukas 12:16 (TB).
[107] J. H. Bavinck, Sejarah Kerajaan Allah: Perjanjian Baru
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 298.
[108] euvfo,rhsen verb indicative aorist active 3rd person singular from euvfore,w yang diambil dari
BYM Morphology +
Gingrich, Word Analysis, In Bible
Works Version 7, s.v. “euvfo,rhsen”
[109] M. K Sembiring (ed), dkk, Pedoman Penafsiran Alkitab Injil Lukas,
419.
[110] Lukas 12:17 (TB).
[111] dielogi,zeto verb indicative imperfect middle or passive deponent 3rd
person singular from dialogi,zomai diambil
dari BYM Morphology
+ Gingrich, Word Analysis, In Bible Works Version 7, s.v. “dielogi,zeto”.
Kala Imperfek bersifat linear, yakni menyuguhkan tindakan yang tengah
berlangsung pada masa lampau, dari buku Welly Pandensolang, Gramatika dan Sintaksis Bahasa Yunani
Perjanjian Baru, 176.
[112] Hasan Susanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia
dan Konkordansi Perjanjian Baru Jilid I & II, Edisi Revisi, 386 &
186, s.v. “dielogizeto”
[113] Lukas 12:18 (TB).
[114]Hasan Susanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia
dan Konkordansi Perjanjian Baru Jilid I, Edisi Revisi, 387, s.v. “poih,sw”
[115] poih,sw\ verb indicative future active 1st person singular from poie,w yang diambil
dari BYM Morphology
+ Gingrich, Word Analysis, In Bible
Works Version 7, s.v. “poih,sw\”
[116] kaqelw/ verb
indicative future active 1st person singular from kaqaire,w yang diambil
dari BYM Morphology
+ Gingrich, Word Analysis, In Bible
Works Version 7, s.v. “kaqelw”
[117]
oivkodomh,sw verb indicative
future active 1st person singular from oivkodome,w yang diambil dari BYM
Morphology + Gingrich, Word Analysis, In
Bible Works Version 7, s.v. “oivkodomh,sw”
[118] suna,xw verb indicative future active 1st person singular from suna,gw yang diambil dari BYM
Morphology + Gingrich, Word Analysis, In
Bible Works Version 7, s.v. “suna,xw”
[119]Hasan Susanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia
dan Konkordansi Perjanjian Baru Jilid II, Edisi Revisi, 685, s.v. ”sunago”
[120] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Injil Lukas
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 238.
[121] Lukas 12:19 (TB).
[122] evrw
dari le,gw yang diambil dari BYM Morphology + Gingrich, Word
Analysis, In Bible Works Version 7, s.v. “evrw”
[123] th dari o` yang dimbil dari BYM
Morphology + Gingrich, Word Analysis, In
Bible Works Version 7. Kata artikel berfungsi untuk memberikan identitas atau
ciri khusus kepada kata benda, dari buku
Welly Pandensolang, Gramatika dan
Sintaksis Bahasa Yunani Perjanjian Baru, 204.
[124]
yuch/| dari yuch, yang diambil dari BYM Morphology + Gingrich, Word
Analysis, In Bible Works Version 7.
[125]
mou
dari evgw yang diambil dari BYM Morphology
+ Gingrich, Word Analysis, In Bible
Works Version 7.
[126] avnapau,ou dari avnapau,w yang
diambil dari BYM
Morphology + Gingrich, Word Analysis, In
Bible Works Version 7, s.v. “avnapau,ou”
[127] fa,ge verb imperative aorist active 2nd person singular from evsqi,w yang diambil dari BYM Morphology +
Gingrich, Word Analysis, In Bible
Works Version 7, s.v. “fa,ge”
[128] pi,e verb imperative aorist active 2nd person singular from pi,nw yang diambil
dari BYM
Morphology + Gingrich, Word Analysis, In Bible Works Version 7, s.v. “pi,e”
[129] euvfrai,nou verb imperative present passive 2nd person singular from euvfrai,nw yang diambil dari BYM Morphology + Gingrich, Word
Analysis, s.v. “euvfrai,nou” In Bible Works Version 7).
[130] Stefan Leks, Tafsiran Injil Lukas (Yogyakarta:
Kanisius, 2003), 334, diakses 10 Mei 2017, https://books.google.co.id/books?id=Eg4tVxWW6NQC&pg=PA7&hl=id&source=gbs_selected_pages&cad=3#v=onepage&q&f=false
[131] Luke Timothy Johnson, The Gospel of Luke (Collegeville: The
Liturgical Press, 1991), 199.
[132] B. J. Boland, Tafsiran Alkitab: Injil Lukas, 314.
[133] Lukas 12:20 (TB).
[135] B. J. Boland, Tafsiran Alkitab: Injil Lukas, 315.
[136] Charles F. Pfeiffer &
Everett F. Harrison (ed), Tafsiran
Alkitab Wycliffe Volume 3 Perjanjian Baru, 257.
[137] Lukas 12:21 (TB).
[138]
qhsauri,zwn verb participle
present active nominative masculine singular from qhsauri,zw
yang dikutp dari BYM
Morphology + Gingrich, Word Analysis, In
Bible Works Version 7, s.v. “qhsauri,zwn”
[139] Lukas 12:21 (ERV, BYZ In Bible
Works Version 7).
[140] ploutw/n verb
participle present active nominative masculine singular from ploute,w yang diambil dari BYM
Morphology + Gingrich, Word Analysis, In
Bible Works Version 7, s.v. “ploutw/n”
[141] Luke Timothy Johnson, The Gospel of Luke (Collegeville: The
Liturgical Press, 1991), 199.
[142] B. J. Boland, Tafsiran Alkitab: Injil Lukas, 315.
[143] B. J. Boland, Tafsiran Alkitab: Injil Lukas, 315.
[144] Charles F. Pfeiffer &
Everett F. Harrison (ed), Tafsiran
Alkitab Wycliffe Volume 3 Perjanjian Baru, 257.
[145]
Charles F. Pfeiffer
& Everett F. Harrison (ed), Tafsiran Alkitab Wycliffe Volume 3
Perjanjian Baru, 256.
[146] Stefan Leks, Tafsiran Injil Lukas (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 332, diakses 10
Mei 2017, https://books.google.co.id/books?id=Eg4tVxWW6NQC&pg=PA7&hl=id&source=gbs_selected_pages&cad=3#v=onepage&q&f=false
[147] Dave Harvey, Worldliness (Keduniawian): Melawan Godaan
Dunia yang Sudah Jatuh dalam Dosa (Bandung: Pionir Jaya, 2014), 95.
[148] Marthinus Mamonto, “Pelayan dan
Pelayanan Gereja,” Exodus No. 18
Tahun XII Februari 2006 (Tomohon: Fakultas Teologi UKIT, 2006), 56, dikutip
oleh Daniel Ronda (ed), Prosiding Seminar
Khotbah Kontemporer (Makassar: Sekolah Tinggi Theologia Jaffray, 2015),
98-99.
[149] Al Ridho
Zulkifli, “Gaya Hidup Hedonisme di Kalangan Mahasiswa Penerima Beasiswa Kaltim
Cemerlang 2014 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman,”
eJournal Sosiatri-Sosiologi 4 (2016):75, diakses 18 Mei 2017, http://ejournal.sos.fisip-unmul.ac.id/site/wp-content/uploads/2016/02/02_format_artikel_ejournal_mulai_hlm_genap-1%20(02-17-16-07-13-51).pdf
[150] I Made Suardana, “Identitas
Kristen Dalam Realitas Hidup Berbelaskasihan: Memaknai Kisah Orang Samaria Yang
Murah Hati,” Jurnal Jaffray 13, No. 1
(April 2015):125, diakses 20 Februari 2017, http://download.portalgaruda.org/article.php?article=307679&val=7142&title=Identitas%20Kristen%20dalam%20Realitas%20Hidup%20Berbelaskasihan:%20%20Memaknai%20Kisah%20Orang%20Samaria%20yang%20Murah%20Hati
[151] Andrew Brake, Hidup Bijak di Dunia yang Bodoh
(Bandung: Kalam Hidup, 2015), 59.
[152] Jerry & Mary White, Bekerja: Arti, Tujuan dan Masalah-masalahnya
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), 42.
[153] Jerry & Mary White, Bekerja: Arti, Tujuan dan Masalah-masalahnya,
222.
[154] Novita
Trimartati, “Studi Kasus Tantang Gaya Hidup Hedonisme Mahasiswa Bimbingan dan
Konseling Universitas Ahmad Dahlan,” Psikopedagogia
3, No.1 (2014):23, diakses 18 Mei 2017, https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjM5fTo8ffTAhUBQY8KHWDPCsIQFggwMAI&url=http%3A%2F%2Fjournal.uad.ac.id%2Findex.php%2FPSIKOPEDAGOGIA%2Farticle%2Fdownload%2F4462%2F2581&usg=AFQjCNHXESC4sNKzWVWwMPHk4D6cvSwYGQ&sig2=M1zPQKDtpTMmKfsSSs3EFg
[155] Craig L. Blomberg, Tidak Miskin Tetapi juga Tidak Kaya: Teologi
Alkitab tentang Kepemilikan, 123.
[156] Jake Barnet, Harta dan Hikmat: Pandangan Alkitab tentang
Kekayaan (Bandung: Kalam Hidup, 1987), 20.
[157] Jerry & Mary White, Bekerja: Arti, Tujuan dan Masalah-masalahnya,
222.
Komentar
Posting Komentar